Teguh, seorang pemuda asal Kebumen yang baru saja lulus dari bangku SMA, memutuskan untuk mengambil langkah besar dalam hidupnya, merantau demi meraup rezeki. Usianya masih muda, namun keinginannya untuk mandiri dan membangun masa depan membuatnya berani menempuh perjalanan yang panjang. Ia sadar betul bahwa kesuksesan tidak datang begitu saja, ia harus mengejarnya dengan kerja keras dan tekad baja.
Sebelum akhirnya menjejakkan kaki di Yogyakarta, Teguh sempat mencoba peruntungan di kota lain. Ia merantau ke Bekasi, sebuah kota sibuk di pinggiran Jakarta, dan bekerja di sebuah restoran ayam goreng cepat saji. Pengalaman di sana memberinya sedikit bekal tentang kerasnya hidup di perantauan bekerja di bawah tekanan, harus cepat beradaptasi, dan menekan rasa rindu akan keluarga yang jauh di kampung halaman.
Namun, setelah beberapa waktu, ia merasa tempat itu bukan untuknya. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya dan mencari peluang baru di Yogyakarta, sebuah kota yang sejak lama terkenal dengan keramahan orang-orangnya dan peluang usaha yang beragam.
Bersama seorang teman, Teguh akhirnya tiba di Yogyakarta. Modal utamanya hanyalah tekad dan keyakinan bahwa setiap orang punya kesempatan untuk berhasil, asalkan mau berusaha dan tidak mudah menyerah. Mereka memutuskan untuk berjualan kue pukis, kue tradisional yang memiliki aroma khas dan rasa manis yang tak pernah gagal membuat orang tersenyum.
Kisah Teguh berjualan pukis ini dimulai di area Sunmor UGM, sebuah pasar yang hanya ada setiap Minggu pagi. Sejak awal, Teguh menyadari bahwa persaingan di sana cukup ketat, banyak pedagang lain yang menawarkan aneka jajanan tradisional, dari serabi hingga bakwan. Namun, bukannya surut semangat, Teguh justru merasa terpacu. Ia percaya, dengan kualitas dan keunikan pukisnya, ia bisa mencuri perhatian pengunjung.
Setiap Minggu, Teguh bangun sebelum fajar, menyiapkan adonan pukis dengan penuh ketelitian. Ia bekerja di bawah mitranya, yang sudah berpengalaman lebih dulu dalam usaha ini. Bersama-sama mereka meracik adonan yang lembut, menyiapkan topping, dan memastikan setiap kue yang keluar dari cetakan dalam kondisi sempurna, beraroma harum, empuk, dan memiliki lapisan coklat yang lumer. Aroma manis kue pukis yang baru matang menjadi daya tarik utama stand sederhana mereka. Para pengunjung yang sedang berjalan santai di Sunmor sering kali terhenti ketika mencium aroma itu, lalu memutuskan untuk mencoba.
Menjadi pedagang di usia muda tanpa dampingan keluarga bukan perkara mudah bagi Teguh. Ia harus terbiasa menghadapi berbagai tantangan, cuaca yang kadang tak menentu, persaingan dagang yang ketat, dan pelanggan yang terkadang menawar harga seenaknya. Namun, bagi Teguh, semua itu hanyalah bagian dari perjalanan yang harus dilalui. Ia belajar untuk tersenyum meski letih, dan tak ragu menanyakan pendapat pelanggan demi memperbaiki cita rasa pukisnya. Keuletan dan keramahannya menjadi modal penting yang membuat pelanggan kembali, bahkan merekomendasikan pukisnya kepada teman-teman mereka.
Dalam keseharian di Sunmor, Teguh tidak hanya menjual kue. Ia belajar banyak hal, bagaimana cara berinteraksi dengan pelanggan, bagaimana membaca peluang, dan bagaimana menghadapi kegagalan. Ada hari-hari ketika dagangannya laris manis, membuatnya pulang dengan hati penuh syukur. Tapi ada pula hari-hari ketika hanya sedikit kue yang terjual, dan Teguh harus merelakan keuntungan yang tak seberapa. Meski begitu, ia tak pernah menyerah. Baginya, setiap pengalaman, baik manis maupun pahit, adalah pelajaran berharga.
Pukis yang dijual Teguh bukan sekadar kue biasa. Setiap gigitan membawa cita rasa manis yang pas, tekstur lembut yang memanjakan lidah, dan lumernya coklat yang membuat siapa saja ingin kembali membeli. Bagi sebagian orang, kue pukis mungkin hanya makanan ringan yang sering ditemui di pinggir jalan. Namun bagi Teguh, pukis adalah sumber harapan dan cara untuk mewujudkan mimpinya.
Sambil melayani pelanggan, Teguh sering kali memikirkan keluarga yang ditinggalkannya di kampung. Rindu itu datang silih berganti, namun ia tahu keputusannya untuk merantau adalah demi masa depan yang lebih baik. Ia ingin suatu hari nanti bisa pulang dengan membawa kebanggaan: bahwa kerja kerasnya di perantauan membuahkan hasil.
Hampir setahun sudah Teguh berjualan pukis di area Sunmor UGM. Selama waktu itu, ia tak hanya menjadi seorang penjual, tetapi juga seorang pembelajar sejati. Ia mulai paham bagaimana menghadapi orang dengan sabar, bagaimana berinovasi dalam resep agar kue pukisnya semakin diminati, dan yang terpenting, bagaimana terus berjuang meski tanpa banyak dukungan.
Bagi Teguh, masa mudanya bukan sekadar waktu untuk bersenang-senang. Ia memilih jalur yang penuh tantangan, demi menjemput mimpi. Di setiap aroma harum pukis yang mengepul dari cetakan, ada harapan yang ia titipkan. Harapan untuk masa depan yang lebih baik, untuk keluarga yang ia cintai, dan untuk dirinya sendiri, yang tak pernah berhenti berjuang.
Cerita Teguh ini mengajarkan kita bahwa tidak ada kata "terlalu muda" untuk berani berjuang. Di balik setiap stand sederhana di pinggir jalan, selalu ada kisah tentang mimpi dan semangat pantang menyerah. Bagi Teguh, kue pukis bukan hanya jajanan manis; ia adalah langkah awal untuk menaklukkan kerasnya hidup, satu cetakan kue demi satu cetakan kue. Dan selama ia masih bisa berdiri dan tersenyum, selama aroma manis kue pukis itu masih mengundang orang datang, Teguh akan terus berdiri di sana, menjadi saksi bahwa kerja keras dan doa tak pernah sia-sia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI