Sambil melayani pelanggan, Teguh sering kali memikirkan keluarga yang ditinggalkannya di kampung. Rindu itu datang silih berganti, namun ia tahu keputusannya untuk merantau adalah demi masa depan yang lebih baik. Ia ingin suatu hari nanti bisa pulang dengan membawa kebanggaan: bahwa kerja kerasnya di perantauan membuahkan hasil.
Hampir setahun sudah Teguh berjualan pukis di area Sunmor UGM. Selama waktu itu, ia tak hanya menjadi seorang penjual, tetapi juga seorang pembelajar sejati. Ia mulai paham bagaimana menghadapi orang dengan sabar, bagaimana berinovasi dalam resep agar kue pukisnya semakin diminati, dan yang terpenting, bagaimana terus berjuang meski tanpa banyak dukungan.
Bagi Teguh, masa mudanya bukan sekadar waktu untuk bersenang-senang. Ia memilih jalur yang penuh tantangan, demi menjemput mimpi. Di setiap aroma harum pukis yang mengepul dari cetakan, ada harapan yang ia titipkan. Harapan untuk masa depan yang lebih baik, untuk keluarga yang ia cintai, dan untuk dirinya sendiri, yang tak pernah berhenti berjuang.
Cerita Teguh ini mengajarkan kita bahwa tidak ada kata "terlalu muda" untuk berani berjuang. Di balik setiap stand sederhana di pinggir jalan, selalu ada kisah tentang mimpi dan semangat pantang menyerah. Bagi Teguh, kue pukis bukan hanya jajanan manis; ia adalah langkah awal untuk menaklukkan kerasnya hidup, satu cetakan kue demi satu cetakan kue. Dan selama ia masih bisa berdiri dan tersenyum, selama aroma manis kue pukis itu masih mengundang orang datang, Teguh akan terus berdiri di sana, menjadi saksi bahwa kerja keras dan doa tak pernah sia-sia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI