Mohon tunggu...
Intan Parinduri
Intan Parinduri Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat Politik

Rakyat Biasa yang mencoba mengamati politik dan kehidupan sosial di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Siapakah Pembela Islam Sebenarnya, Jokowi Apa SBY?

10 November 2016   18:28 Diperbarui: 13 November 2016   18:39 86101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SBY dan Jokowi, Dalam Sebuah Panggung (Sumber Gambar : Jambur.com)

 

Pertarungan pilkada DKI 2017, sudah melibatkan isu agama terlalu jauh.  Menjadi pertanyaan besar saat ini apakah isu agama ini memang murni dari penistaan ataukah memang dipolitisir, pertanyaan ini harus bisa dibuktikan, bukan saja dengan fakta hukum, tapi juga fakta politik dan perkembangan yang ada secara dialektis.

Gerakan 4 November 2016, sebenarnya menjadi menarik karena dalam prolog-nya terdapat Pidato Presiden SBY soal dukungannya pada Gerakan 4 November 2016. Pertanyaan ini menjadi kontekstual saat menoleh pada apa substansi gerakan itu?, Politis atau Memang murni kemarahan rakyat?. Dalam pidato itu juga seakan-akan SBY melakukan pembelaan terhadap Islam, pembelaan terhadap Akidah. Tapi apakah ada ketulusan di hati SBY dalam membela Islam, ataukah ada niat tersembunyi untuk kepentingan politik anaknya?

Ketika BJ Habibie dengan tulus menerima Ahok, bercanda bersama Ahok dan saling rangkul penuh rasa sayang sebagai dua generasi bangsa, BJ Habibie berkata “Hadiah terbesar bangsa Cina terhadap Indonesia adalah Islam”. Ada ketulusan dalam diri BJ Habibie, melihat Ahok sebagai manusia, dan menghargai Islam dalam arti sesungguhnya, BJ Habibie menjadikan Islam sebagai Subjek dalam dunia politik Indonesia, mendorong menjadi pelaku ekonomi dalam mendorong kemakmuran bangsa, dan tidak menggunakan Islam untuk menjahili lawan politiknya. Inilah Islam yang diangkat BJ Habibie. 

Ahok, BJ Habibie dan Djarot Dalam Sebuah Kesempatan Pertemuan (Sumber Gambar : Tribunnews.com)
Ahok, BJ Habibie dan Djarot Dalam Sebuah Kesempatan Pertemuan (Sumber Gambar : Tribunnews.com)
Gus Dur bahkan lebih jauh lagi dalam menempatkan Islam sebagai Subjek terpenting dalam membangun peradaban Indonesia, Nadhlatul Ulama menjadi motor dalam pembangunan, dalam pesan-pesan Islam yang hakiki, menjiwai perdamaian tapi penuh dengan rasa hormat. Gus Dur adalah Pahlawan dalam arti sesungguhnya dalam mengembangkan Islam yang berwatak manusiawi dan penuh penghargaan nilai-nilai persaudaraan, di tangan Gus Dur : Islam menemui alam kontekstualnya dalam Pancasila. Gus Dur membebaskan segregasi terselubung Orde Baru seperti pelarangan Barongsai, ini menandakan sebuah "Kebudayaan tidak boleh dijadikan alat prasangka hanya untuk kepentingan politik jangka pendek". Masyarakat yang beragam tidak boleh dijadikan sekat-sekat saling menindas. 

Seperti kita tahu bahwa di masa Presiden Suharto, sekat-sekat itu ada : Kaum Tionghoa hanya boleh bergerak di sektor ekonomi dan diberikan keleluasaan lebih, tapi tak boleh sedikitpun masuk ke sistem negara, sementara ekonomi pribumi hanya dijadikan kembang latar, kesempatan pun semu, sehingga akumulasi kapital hanya pada kaum Tionghoa yang diberikan lisensi oleh Presiden Suharto, sehingga terjadi kepincangan sosial, kaum Tionghoa dianggap bukan pribumi tapi tidak diakui dalam sistem formal dan dihambat ruang geraknya, namun punya akumulasi kapital berlebih, sementara kaum yang dianggap pribumi tidak memiliki akses kapital, tapi punya ruang gerak terhadap sistem. Kepincangan inilah yang meledak dalam tragedi Mei 1998. Gus Dur mampu membongkar semua sekat-sekat ini dengan cerdik dan membangun jalan baru peradaban Indonesia yang menolak segregasi dalam bentuk apapun. 

Saat berkunjung ke Amerika Serikat, tak lama setelah peristiwa serangan 9 November 2001, Megawati berusaha didikte untuk bicara soal terorisme. Pada saat itu banyak ahli politik dan ahli ekonomi yang mengatakan bahwa kunjungan itu merupakan kesempatan emas bagi Megawati untuk mendapatkan milyaran dollar untuk bersama USA memerangi terorisme. Amerika Serikat memerlukan dukungan Indonesia yang mayoritasnya muslim. Teks Pidato atas lobby USA sudah disiapkan. Tetapi Megawati lebih memilih menyuarakan keyakinan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat. Maka dalam pidato di PBB, hasilnya sangat mengejutkan, dan membuat Pemerintah Amerika kurang senang. Megawati  tegas mengatakan, 'akar masalah terorisme adalah ketidakadilan dalam persoalan Palestina". 

Suatu sikap yang tidak mungkin disampaikan oleh SBY, mengingat SBY (pengganti Megawati) dikenal sebagai "golden boy America", ucapan SBY paling terkenal soal Amerika Serikat adalah "America is my Second Country" ucapan ini jelas adalah sikap mendua SBY terhadap rasa cintanya pada sebuah bangsa, dan ini jelas beda dari kebanyakan orang Indonesia yang memiliki satu rasa cinta, cinta pada Indonesia. Itulah yang ditegaskan Bung Karno juga "bahwa mencintai tanah air harus hidup dalam hatimu, tak boleh kau ragu...sedikitpun ragu" Sikap Bung Karno terhadap Palestina jelas "Kemerdekaan Palestina adalah hak dari segala bangsa" itu diucapkan Bung Karno di tahun 1960-an menjelang berlangsung Asian Games 1962, dan menolak Israel untuk ikut karena dianggap menjadi bagian penjajahan tanah air bagi orang Palestina.  Sikap tegas Megawati ini yang kemudian membuat Amerika tidak senang, dan SBY malah mendekat ke Amerika seperti tanpa syarat.

Pengertian kemerdekaan Palestina bagi Bung Karno sama dengan Megawati  bahwa Palestina adalah satu-satunya bangsa yang belum merdeka dalam pengertian yang seluas-luasnya. Palestina tercatat sebagai peserta Konferensi Asia Afrika. Selain itu, Megawati memegang teguh konstitusi “bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Karena itulah penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”

Ketika Amerika berencana menyerang Irak, beberapa kali, Presiden Amerika saat itu, George W. Bush menelpon Megawati sebagai Presiden dari negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia. Namun upaya tersebut gagal. Megawati dengan tegas mengatakan “Mr. Bush, Islam di Irak itu hampir sama dengan Indonesia. Kami tidak akan memberikan dukungan selama aksi itu dilakukan secara sepihak, dan tidak atas nama PBB. Berapa lama Amerika akan menyelesaikan misinya atas Irak?” Sikap keras Megawati ini juga nampak dalam Organisasi Konferensi Islam. Raja Fahd dari Arab Saudi sempat mengingatkan Megawati atas ucapannya yang keras tersebut. Namun dengan tegas Megawati mengatakan: “Ini adalah hal prinsip. Jika saya tidak ikut menyuarakan, maka orang tidak akan berani bersuara”. 

Hal itu terjadi mengingat saat itu Amerika merupakan kekuatan unipolar dunia. Apa yang dilakukan Megawati bukan karena berseberangan dengan Amerika. Tidak. Megawati sangat menghormati dan mengagumi Amerika. Namun ketika hal yang sangat fundamental dilanggar, maka Megawati tidak gentar bersikap. Meskipun dengan resiko politik yang sangat besar sekalipun. Jalan politik Megawati segaris dengan jalan politik ayah-nya Bung Karno, bahwa kemerdekaan dimanapun juga harus dihormati setinggi-tingginya, karena kemerdekaan adalah pintu menuju kemanusiaan yang berdaulat, sebuah harga diri manusia bagi tanah airnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun