Mohon tunggu...
Indah Mailani
Indah Mailani Mohon Tunggu... Mahasiswa psikologi pendidikan

Pembelajar di bidang psikologi pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Belajar Bahagia: Membangun Kesejahteraan Akademik Lewat Dukungan Sosial dan Peran Dosen"

25 Mei 2025   14:53 Diperbarui: 27 Mei 2025   12:44 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Profile Indah Mailani

Oleh : Indah Mailani dan Riana Sahrani

DI ERA MODERN, mahasiswa menghadapi tekanan yang semakin kompleks. Nilai dan IPK tak lagi cukup menjadi tolak ukur keberhasilan akademik. Ada dimensi lain yang sering luput dari perhatian: Kesejahteraan Jiwa dan Sosial.
Apakah mahasiswa benar-benar bahagia saat belajar?
Apakah mereka merasa hidupnya bermakna di bangku kuliah?

Kesejahteraan akademik mahasiswa menjadi isu penting yang kerap kali luput dari perhatian. Fokus yang berlebihan terhadap pencapaian nilai akademis seringkali membuat kampus lupa bahwa mahasiswa juga manusia yang memiliki kebutuhan psikologis dan sosial. Materi dalam kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) oleh Universitas Sultan Ageng Tirtayasa menghadirkan topik yang menyegarkan dan relevan: "Belajar Bahagia." Melalui pendekatan psikologi pendidikan, narasumber Indah Mailani, S.Psi. mahasiswa S2 Psikologi Pendidikan dari Universitas Tarumanagara, mengupas tuntas bagaimana kebahagiaan dapat menjadi kunci untuk mencapai kesejahteraan akademik.

Kebahagiaan Sebagai Fondasi Well-Being Akademik

Secara konseptual, kebahagiaan merupakan salah satu elemen penting dalam kesejahteraan atau well-being. Dalam literatur psikologi positif, terdapat dua jenis utama kebahagiaan: hedonic well-being dan eudaimonic well-being. Hedonic well-being merujuk pada emosi positif dan perasaan senang yang bersifat jangka pendek, sedangkan eudaimonic well-being berkaitan dengan makna hidup, pencapaian potensi diri, dan kehidupan yang sejahtera secara menyeluruh.


Kata eudaimonia sendiri berasal dari bahasa Yunani yang bermakna "segala sesuatu yang disukai oleh makhluk seperti dewa." Dalam tradisi filsafat klasik (Socrates, Plato, dan Aristoteles), eudaimonia dianggap sebagai kebahagiaan sejati---yaitu ketika seseorang menjalani hidup secara autentik, bermakna, dan penuh refleksi. Dalam konteks akademik, mahasiswa tidak cukup hanya "senang" atau merasa puas secara sementara, melainkan juga perlu merasakan bahwa kehidupan kampus mereka bermakna dan mendukung pertumbuhan diri.

Fenomena Kesejahteraan Akademik yang Terkikis

Salah satu alasan utama mengapa topik ini menjadi penting adalah tingginya tingkat stres, kecemasan, dan demotivasi di kalangan mahasiswa. Banyak mahasiswa yang merasa tertekan dengan beban akademik, kehilangan arah, hingga mengalami kelelahan mental. Padahal, kampus seharusnya bukan sekadar tempat menimba ilmu, melainkan juga ruang untuk bertumbuh, menemukan jati diri, dan merasa didukung secara emosional maupun sosial.

Dampak Positif dari School Well-Being yang Tinggi.


Studi-studi empiris mendukung pentingnya kesejahteraan akademik. Ketika school well-being tinggi, berbagai efek positif bisa dirasakan oleh mahasiswa, seperti :

1. Adversity intelligence meningkat artinya mahasiswa memiliki kemampuan untuk bangkit dari tekanan atau kegagalan (Rachmah Nur, 2016).

2. Resiliensi yang lebih kuat memungkinkan mahasiswa menghadapi tekanan akademik dengan lebih baik (Tiatri & Sahrani, 2017).

3. Optimisme akademik yang lebih tinggi membantu mahasiswa memandang masa depan dengan harapan positif (Ahkam M. A, 2021).


4. Perilaku sosial positif, seperti altruisme, kreativitas, dan kerja sama tim (Cohen & Pressman, 2006).

5. Karakteristik kepribadian yang sehat, yang mendukung perkembangan akademik dan sosial (Mashford-Scott et al., 2012).

Sehingga dalam hal ini, school well-being yang tinggi menjadi dasar yang memungkinkan mahasiswa tidak hanya sukses secara akademik, tetapi juga secara sosial dan emosional.

Studi menunjukkan bahwa school well-being yang tinggi mampu meningkatkan adversity intelligence (kemampuan menghadapi kesulitan), resiliensi, optimisme, hingga membentuk karakter yang toleran, kreatif, dan altruistik. Mahasiswa dengan kesejahteraan akademik yang baik cenderung percaya diri, mudah bekerja sama, dan memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi dalam konteks perkuliahan. 

Konsekuensi dari School Well-Being yang Rendah

Sebaliknya, jika school well-being rendah, dampaknya bisa sangat serius: stres akademik, berkurangnya motivasi belajar, keinginan untuk keluar dari kampus, bahkan kecenderungan melakukan pelanggaran sosial.

Dalam hal ini mengidentifikasi dua problem utama yang timbul dari rendahnya school well-being dan secara implisit menyoroti pentingnya dukungan sosial sebagai solusi. Artikel ini akan menguraikan lebih lanjut konsekuensi-konsekuensi tersebut dan mengapa dukungan sosial menjadi krusial dalam mengatasi masalah ini.

Problem Pertama

"Penurunan school Well-Being dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti berkurangnya minat belajar, kesulitan melihat, dan bahkan ketidakmampuan untuk keluar dari perguruan tinggi." School well-being merujuk pada kondisi psikologis, emosional, dan sosial yang positif di lingkungan sekolah. Ketika kondisi ini menurun, dampaknya bisa sangat luas dan merugikan, yaitu :

Pertama, berkurangnya minat belajar adalah konsekuensi langsung. Siswa yang merasa tidak nyaman, stres, atau tidak didukung di sekolah cenderung kehilangan motivasi intrinsik untuk belajar. Ini bisa disebabkan oleh tekanan akademik yang berlebihan, bullying, kurangnya interaksi positif dengan guru atau teman sebaya, atau bahkan masalah pribadi yang terbawa ke lingkungan sekolah. Minat belajar yang rendah pada akhirnya akan berdampak pada prestasi akademik.

Kedua, frasa "kesulitan melihat" kemungkinan besar merujuk pada kesulitan melihat atau memahami potensi diri dan arah masa depan. Siswa yang tidak sejahtera di sekolah mungkin merasa bingung, tidak memiliki tujuan yang jelas, atau pesimis terhadap prospek mereka. Mereka mungkin kesulitan mengidentifikasi minat dan bakat mereka, atau merasa tidak mampu mencapai cita-cita. Hal ini bisa menghambat pengembangan diri dan perencanaan karir mereka di kemudian hari.

Ketiga, yang paling parah adalah ketidakmampuan untuk keluar dari perguruan tinggi. Ini bisa diinterpretasikan dalam dua cara:


1.  siswa tersebut tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi karena prestasi akademik yang buruk atau kurangnya motivasi.

2. kedua, jika mereka berhasil masuk, mereka mungkin kesulitan untuk menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi akibat masalah psikologis yang belum terselesaikan. Ini menunjukkan bahwa school well-being bukan hanya berdampak pada masa sekolah, tetapi juga membentuk fondasi untuk keberhasilan pendidikan di masa depan.

Problem Kedua

Stres akademik adalah masalah umum yang dialami oleh banyak siswa, terutama ketika school well-being mereka rendah. Beban tugas, ujian, persaingan, dan tuntutan untuk berprestasi dapat memicu tingkat stres yang tinggi. Jika tidak dikelola dengan baik, stres akademik dapat menyebabkan gangguan kecemasan, depresi, kelelahan mental, dan bahkan masalah kesehatan fisik. Penelitian oleh Mulyani & Ferdiyanto (2020) menggarisbawahi relevansi stres akademik sebagai konsekuensi dari school well-being yang buruk.
Frasa "posisi ditoleransi" dari Effendi & Sriwenti (2016) mungkin mengacu pada perasaan terisolasi, tidak dihargai, atau diabaikan oleh teman sebaya atau guru. Siswa yang merasa ditoleransi mungkin merasa bahwa keberadaan mereka di sekolah tidak signifikan, atau bahwa masalah mereka tidak dianggap serius. Ini bisa menyebabkan rendahnya harga diri, kecemasan sosial, dan perasaan kesepian. Lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang mendukung dan inklusif justru menjadi sumber ketidaknyamanan.


Dukungan Sosial Sebagai Katalisator Kesejahteraan


Melihat berbagai konsekuensi negatif dari rendahnya school well-being, sub-judul "DUKUNGAN SOSIAL" menjadi sangat relevan. Dukungan sosial adalah salah satu faktor pelindung terpenting yang dapat membantu siswa mengatasi tantangan dan meningkatkan well-being mereka.

Salah satu faktor penting dalam membangun kesejahteraan akademik adalah dukungan sosial. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan dari teman, dosen, dan keluarga mampu meningkatkan motivasi belajar, mengurangi stres, dan memperbaiki hubungan sosial. Mahasiswa yang merasa didukung cenderung merasa lebih kuat, tidak sendirian, dan memiliki alasan untuk terus maju.
Bentuk dukungan sosial bisa sangat sederhana, namun berdampak besar---seperti teman yang mengajak belajar bersama, orang tua yang memberi semangat, atau dosen yang menunjukkan kepedulian dengan bertanya, "Kamu butuh bantuan?" Interaksi-interaksi kecil ini memberi mahasiswa rasa aman dan memperkuat mental mereka di tengah tuntutan akademik yang tinggi.

Peran Strategis Dosen dalam Kesejahteraan Mahasiswa

Ada  satu pilar penting dalam ekosistem kampus yaitu dosen. Lebih dari sekedar bisa pengajar, dosen dapat berperan penting, seperti :

* Mentor dan pembimbing kehidupan akademik.
* Pendengar yang empatik, yang mampu memahami masalah mahasiswa tanpa menghakimi.
* Fasilitator peluang, seperti membuka akses beasiswa, riset, atau relasi profesional.
* Sumber inspirasi, yang dengan keteladanan sikap mampu memotivasi mahasiswa untuk terus berkembang.

Namun, relasi mahasiswa-dosen di beberapa kampus masih bersifat kaku dan formal. Padahal, relasi yang hangat dan terbuka bisa meningkatkan ikatan emosional yang memperkuat semangat belajar mahasiswa. Ketika dosen bertanya "Apakah kamu butuh bantuan?", itu bisa menjadi titik balik bagi mahasiswa yang sedang dalam kondisi mental buruk.

Dalam konteks pendidikan tinggi, dosen memiliki peran yang sangat strategis. Dosen bukan hanya pengajar yang menyampaikan materi kuliah, tetapi juga berfungsi sebagai pendengar, pembimbing, pemberi arah, dan pemberi semangat. Seorang dosen yang suportif dapat menjadi kunci bagi mahasiswa dalam menghadapi masa-masa sulit.
Dosen yang memahami pentingnya dukungan psikososial akan membuka ruang dialog, mengarahkan mahasiswa ke peluang beasiswa atau kegiatan produktif, serta menjadi sumber inspirasi. Dengan peran ini, dosen membantu mahasiswa membangun rasa percaya diri dan kesiapan menghadapi tantangan akademik maupun non-akademik.


Strategi Praktis untuk "Belajar Bahagia"


Indah Mailani, S.Psi merangkum beberapa strategi sederhana namun efektif yang bisa diterapkan oleh mahasiswa untuk mulai "belajar bahagia":

*Mencari lingkungan pertemanan yang sehat, di mana terdapat dukungan emosional dan semangat positif.
*Tidak takut untuk meminta bantuan dosen, karena banyak dosen yang sebenarnya bersedia membantu jika mahasiswa terbuka.
*Membangun rutinitas yang menenangkan, seperti menjaga pola makan, tidur cukup, dan olahraga teratur.
*Aktif dalam kegiatan positif di kampus, yang dapat membangun jejaring sosial dan mengembangkan potensi diri.
*Mengingat bahwa kita tidak sendirian, dan banyak pihak yang bersedia membantu jika kita membuka diri.



Menciptakan Budaya Kampus yang Menyejahterakan

Artikel ini menyoroti betapa pentingnya menciptakan ekosistem pendidikan tinggi yang tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan emosional dan sosial mahasiswa. Kesejahteraan akademik tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada mahasiswa. Lingkungan kampus, termasuk teman sebaya, dosen, dan sistem pendidikan itu sendiri, harus berperan aktif dalam mendukung proses belajar yang sehat dan bahagia.

Melalui program PKM ini, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa menunjukkan komitmennya untuk membangun generasi mahasiswa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara emosional. 

Bahwa bahagia itu adalah sebuah pilihan---bukan sesuatu yang datang tiba-tiba, tapi sesuatu yang bisa kita jemput dan kita pilih setiap hari.

Kesejahteraan akademik bukan sekadar soal nilai, tapi juga soal hubungan yang sehat, dukungan sosial yang hangat, dan peran dosen yang hadir dengan empati.

Mari terus jalin relasi yang positif, saling dukung, dan jangan ragu untuk memilih bahagia, walau langkah kita tidak selalu mudah.
Karena ketika kita saling menguatkan, perjalanan menjadi lebih ringan, dan belajar terasa lebih bermakna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun