Pertama, berkurangnya minat belajar adalah konsekuensi langsung. Siswa yang merasa tidak nyaman, stres, atau tidak didukung di sekolah cenderung kehilangan motivasi intrinsik untuk belajar. Ini bisa disebabkan oleh tekanan akademik yang berlebihan, bullying, kurangnya interaksi positif dengan guru atau teman sebaya, atau bahkan masalah pribadi yang terbawa ke lingkungan sekolah. Minat belajar yang rendah pada akhirnya akan berdampak pada prestasi akademik.
Kedua, frasa "kesulitan melihat" kemungkinan besar merujuk pada kesulitan melihat atau memahami potensi diri dan arah masa depan. Siswa yang tidak sejahtera di sekolah mungkin merasa bingung, tidak memiliki tujuan yang jelas, atau pesimis terhadap prospek mereka. Mereka mungkin kesulitan mengidentifikasi minat dan bakat mereka, atau merasa tidak mampu mencapai cita-cita. Hal ini bisa menghambat pengembangan diri dan perencanaan karir mereka di kemudian hari.
Ketiga, yang paling parah adalah ketidakmampuan untuk keluar dari perguruan tinggi. Ini bisa diinterpretasikan dalam dua cara:
1. Â siswa tersebut tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi karena prestasi akademik yang buruk atau kurangnya motivasi.
2. kedua, jika mereka berhasil masuk, mereka mungkin kesulitan untuk menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi akibat masalah psikologis yang belum terselesaikan. Ini menunjukkan bahwa school well-being bukan hanya berdampak pada masa sekolah, tetapi juga membentuk fondasi untuk keberhasilan pendidikan di masa depan.
Problem Kedua
Stres akademik adalah masalah umum yang dialami oleh banyak siswa, terutama ketika school well-being mereka rendah. Beban tugas, ujian, persaingan, dan tuntutan untuk berprestasi dapat memicu tingkat stres yang tinggi. Jika tidak dikelola dengan baik, stres akademik dapat menyebabkan gangguan kecemasan, depresi, kelelahan mental, dan bahkan masalah kesehatan fisik. Penelitian oleh Mulyani & Ferdiyanto (2020) menggarisbawahi relevansi stres akademik sebagai konsekuensi dari school well-being yang buruk.
Frasa "posisi ditoleransi" dari Effendi & Sriwenti (2016) mungkin mengacu pada perasaan terisolasi, tidak dihargai, atau diabaikan oleh teman sebaya atau guru. Siswa yang merasa ditoleransi mungkin merasa bahwa keberadaan mereka di sekolah tidak signifikan, atau bahwa masalah mereka tidak dianggap serius. Ini bisa menyebabkan rendahnya harga diri, kecemasan sosial, dan perasaan kesepian. Lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang mendukung dan inklusif justru menjadi sumber ketidaknyamanan.
Dukungan Sosial Sebagai Katalisator Kesejahteraan
Melihat berbagai konsekuensi negatif dari rendahnya school well-being, sub-judul "DUKUNGAN SOSIAL" menjadi sangat relevan. Dukungan sosial adalah salah satu faktor pelindung terpenting yang dapat membantu siswa mengatasi tantangan dan meningkatkan well-being mereka.
Salah satu faktor penting dalam membangun kesejahteraan akademik adalah dukungan sosial. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan dari teman, dosen, dan keluarga mampu meningkatkan motivasi belajar, mengurangi stres, dan memperbaiki hubungan sosial. Mahasiswa yang merasa didukung cenderung merasa lebih kuat, tidak sendirian, dan memiliki alasan untuk terus maju.
Bentuk dukungan sosial bisa sangat sederhana, namun berdampak besar---seperti teman yang mengajak belajar bersama, orang tua yang memberi semangat, atau dosen yang menunjukkan kepedulian dengan bertanya, "Kamu butuh bantuan?" Interaksi-interaksi kecil ini memberi mahasiswa rasa aman dan memperkuat mental mereka di tengah tuntutan akademik yang tinggi.
Peran Strategis Dosen dalam Kesejahteraan Mahasiswa