Mohon tunggu...
Teguh Perdana
Teguh Perdana Mohon Tunggu... Editor - Menulis dan Berbagi Cerita

Berbagi Kata Berbagi Cerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbagi Kata Berbagi Cerita: Mengingat Perjalanan Hidup dari Sebuah Foto

29 Mei 2020   10:30 Diperbarui: 29 Mei 2020   10:36 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam yang dingin, juga udara yang sejuk untuk sebuah kondisi pedesaan. Aku duduk di kursi panjang berwarna biru tua yang telah hampir 20 tahun usianya. Termangu di depan sebuah laptop hitam, bersama setumpuk foto kenangan sejak tahun 2017.

Foto itu kusimpan rapih di folder laptop dengan nama "WA Images". Ya, nama tersebut kuambil karena awalnya ini adalah foto terkirim dan diterima yang kupindahkan akibat memori telepon genggam yang telah tidak memadai.

Perlahan kubuka satu persatu foto masa silam. Ada perasaan malu, sedih, juga bangga ketika aku melihatnya sekarang. Pun dengan kenanganya di waktu itu, rasa itu ibarat masih menempel kuat hingga sekarang.

Memang benar, foto adalah bukti dokumentasi paling jujur hingga kini, setidaknya itulah yang kupercayai. Asal dengan catatan, aplikasi foto yang digunakan bukan sebuah aplikasi percantik atau pertampan.

Berangkat dari foto pertama tahun 2017, aku melihat diriku yang dulu masih segar, tanpa beban pikiran yang menumpuk. Kacamata kotak bingkai tebal kebanggaan, masker abu, dan headset yang tertancap ditelinga adalah gaya ternyamanku kala itu, terutama ketika berpergian. Apalagi, foto yang kulihat ini adalah foto perjalananku ketika menaiki kereta api untuk menuju sebuah daerah idaman dan gudang pelajar; Yogyakarta.

Hampir 4 jam lebih perjalanan dari kotaku ke Yogyakarta. Foto yang kuambil saat di kereta memang hanya satu buah. Hal tersebut bukan karena malu atau tidak percaya diri, melainkan aku lebih memilih tidur untuk mengusir rasa bosan perjalanan.

Sesampainya di daerah idamanku sejak kecil, kamera telepon genggamku terus membidik spot keren daerah ini. Bukan untuk tujuan mengabadikan,namun lebih pada eksistensi diri. Apalagi, tahun 2017 Instagram begitu beken di kalanganku. Rasa-rasanya, kala itu, foto tersebut telah menaikan derajatku sebagai anak muda kampung yang akan menjawab tantangan zaman.

Lebih lanjut, apabila aku tidak keliru, foto-foto lain yang serupa pun terus mejeng selama 3 hari lebih di linimasa Instagramku. Eksistensi diri itupun aku lakukan tidak hanya sebagai rasa glorifikasi diri telah mampu melampaui batas yang ditetapkan, namun juga sebagai rasa ingin ada pengakuan lebih di masyarakat.

Kini, akupun tiba pada foto tahun 2018. Tahun ini adalah tahun  pertamaku mengenyam pendidikan di salah satu kampus di Yogyakarta. Jajaran foto tahun 2018 lebih banyak menampilkan aku yang lain dari diriku sebelumnya. Jika tahun 2017 aku menampilkan diri sebagai lelaki maskulin idaman kaum hawa masa kini, maka, tahun 2018 terjadi peralihan dimana foto-fotoku lebih banyak tentang kutipan kalimat progresif, memotret diriku bersama buku kiri hingga berbicara di mimbar ala presiden pertama atau memotret kopi hitam penyebab penyakit maghku kambuh.

Doc. Pribadi
Doc. Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun