Mohon tunggu...
Teguh Perdana
Teguh Perdana Mohon Tunggu... Editor - Menulis dan Berbagi Cerita

Berbagi Kata Berbagi Cerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbagi Kata Berbagi Cerita: Catatan Kecil Idulfitri di Tengah Pelik Pandemik

26 Mei 2020   10:39 Diperbarui: 26 Mei 2020   10:37 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Srengg, srengg, ...". Bunyi wajan beradu dengan peralatan masak lain di pagi hari di penghujung ramadhan. Bau khas makanan lebaran menyeruak di ruang keluarga kami yang sederhana. Sejak pukul 08.00, ibu begitu bersemangat di dapur. Segala peralatan telah dia persiapkan sebelumnya. Rencananya, dia akan membuat beberapa hidangan sederhana untuk kami santap, esok setelah menunaikan sholat Ied di rumah.

Lebaran kali ini memang sedikit berbeda dari sebelumnya. Gegap gempita hari kemenangan tidak kami rayakan sepenuhnya dengan keluarga besar yang tinggal jauh di luar kota kami. Juga, pemandangan lumrah tiap tahun, dimana beragam plat kendaraan mulai dari mobil hingga motor yang mewarnai jalan kampungku, kini tidak terlihat.

Pukul 12.00 siang, di tengah terik matahari, aku berpangku tangan depan dinding tembok hijau di sebuah kursi malas mengenangkan lebaran tahun kemarin. Masih kuingat, hari terakhir ramadhan adalah hari paling gemebyar di kampungku. Beragam kegiatan masyarakat hadir. Dari menyiapkan ragam makanan khas, hingga banyaknya lalu lalang kendaraan mengunjungi sanak saudara untuk memberi sedikit rezeki dan berziarah kubur. Bahkan, jika ingatanku tidak keliru, akhir ramadhan adalah hari paling mainstream untuk dilakukan buka bersama.

Aku berhenti dalam lamunan kenangan yang tak lekang oleh waktu itu. Beranjak masuk melihat ibuku yang masih sibuk sendiri di dapur. Melihatnya lelah dan lesu menahan haus, aku menyuruhnya berhenti dan tidur dulu.

"Heup heula, ulah cape teuing, enjing kan lebaran. (Berhenti dulu, jangan kecapean, besok kan mau lebaran)". Seolah tidak peduli, dia masih tetap saja meneruskan pekerjaanya sembari menjawab dengan nada khasnya, "Ke kagok,saalit deui. Kan meh enjing raos mam na, (Sebentar, sedikit lagi. Biar besok enak kalau makan)".

Jawaban itu membuatku tak berkutik lagi. Ah memang, hal itu yang selalu kurindukan belakangan ini semenjak kuliah, dimana waktuku bersamanya tersita begitu banyak.

Suara bedug terdengar nyaring dari masjid yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahku. Tidak lama dari itu, kumandang suara adzan menggema, saling bersahut-sahutan. Magrib terakhir di penghujung bulan ramadhan ini, ujarku.  Tegukan air putih pertama saat maghrib memang terasa begitu nikmat. Menyegarkan juga melepas segala rasa haus dan kantuk yang aku rasai sedari siang tadi.

Selepas sholat magrib, satu persatu masjid mulai mengumandangkan takbir. Ibarat saling terhubung, kalimat takbir terus menerus menggema, tiada henti sedetikpun mengagungkan Tuhan Yang Maha Besar lagi Perkasa.

Kumandang takbir di tempatku hari ini tidak hanya berasal dari masjid, tapi juga dari posko jaga masuk untuk pencegahan COVID-19. Wajar, kota kecilku, kini tengah menyelenggarakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Jilid 2.

Pukul 22.00, warga dengan masker lengkap telah riuh di posko. Dari penjuru lain, dua orang naik motor bersama, satu memakai kaos dan bersarung, satu lagi memakai baju koko dan celana panjang hitam. Di depanya, sebuah kardus bekas air kemasan diapit oleh kaki si pengendara.

Mereka berhenti, menyimpan kardus bekas air kemasan di meja yang tepat berada di depan posko.

"Yeuh kopi jeung rokok, sok ngarebul. Kurang mah aya keneh di kaler (masjid), (Nih kopi sama rokok, silahkan. Kalau kurang, masih ada di masjid". Sontak perkataan itu disambut tertawaan kami yang sedari tadi ngobrol ngalor ngidul membahas beragam macam hal.

Dalam pandanganku, malam takbir adalah malam dimana waktu bergulir begitu cepat. Dan terbukti, ketika kulihat jam tanganku, waktu telah menunjukan pukul 01.30 pagi. Cepat sekali, gumamku.

Rasa kantuk telah menghinggapi badanku. Setelah aku memakan satu ulen --beras ketan yang ditumbuk dan dibentuk kotak serta di masak dengan cara digoreng-, kuputuskan untuk berpamitan pada warga lain, menuju rumah dan merebahkan badan yang sedari tadi kuporsir habis-habisan. Terima kasih Ramadhan, di tengah pelik pandemic, engkau masih membawa secerca harapan dan kegembiraan, semoga tahun depan kita bertemu kembali.

Suara nyaring ayam jago di waktu shubuh membangunkanku dari tidur lelap pagi ini (24/05). Ibuku, telah sibuk di dapur pagi ini. Beberapa buah ketupat juga telah terlihat menggelantung di stang sepeda. Riuh orang lalu lalang kesana kemari mempersiapkan banyak hal pagi ini.

Rencanya, pagi ini akan tetap diadakan sholat Ied. Namun dengan beberapa pengeculian seperti, jarak antar satu jemaah dengan jemaah lain terpaut 1 meter, tidak adanya amanat walikota yang biasanya disampaikan pada pembukaan acara, serta ditiadakanya prosesi bersalaman sesaat setelah khotbah Ied disampaikan.

Setengah 7 pagi, tanah lapang telah riuh orang duduk bersila di atas sejadah, larut dalam suara takbir dan dzikir masing-masing. Ketua Dewan Keluarga Masjid (DKM) membuka pertama kali sebagai tanda acara akan dimulai.

Setelahnya, sholat Ied dilaksanakan. Keriuhan yang sedari tadi hening seketika, pun dengan lalu lalang anak kecil yang daritadi berlarian kesana kemari, duduk bersila di samping bapak/ibunya masing-masing.

Sholat Ied pun selesai, tidak ada pemandangan lumrah yang biasa terjadi; ibu-ibu merangkul ibu lainya sembari menitikan air mata bermaafan. Semua orang kompak, cara bermaafan hanya dilakukan dengan tangan diangkat sedada dan meminta maaf.

Tidak ada gegap gempita, hanya satu-dua petasan terdengar dari jauh. Orang-orang berangsur pulang ke rumah, dan hanya beberapa singgah ke saudara yang satu lingkungan. Pun denganku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun