Hidup itu bukan tentang coba-coba, namun sesungguhnya hidup itu tentang menjaga diri untuk mencapai tujuan hakiki. Ada hal yang mungkin tidak umum diterima masyarakat. Sesungguhnya hidup itu tentang percaya/tidak percaya diri bahwa untuk hidup, kita harus mampu menjaga diri dengan nyaman. Justru sebaliknya — kita harus hidup nyaman harus bisa mampu bertumbuh. Fenomena live together atau yang populer disebut “kumpul kebo” kini bukan lagi hal asing di masyarakat modern. Gaya hidup ini merujuk pada praktik dua orang yang belum terikat pernikahan, namun memilih tinggal bersama seolah sudah menjadi pasangan suami-istri. Di berbagai kota besar, fenomena ini mulai diterima sebagian kalangan muda sebagai bentuk “uji kompatibilitas” sebelum menikah.
Namun pertanyaannya: apakah live together benar-benar solusi untuk hubungan yang lebih matang dan realistis? Ataukah justru menjadi bencana sosial yang merusak tatanan moral, nilai keluarga, dan masa depan generasi?
Para pendukung live together berargumen bahwa hidup bersama sebelum menikah bisa menjadi cara mengenal pasangan secara lebih mendalam. Mereka beralasan bahwa menikah tanpa saling memahami karakter akan berisiko tinggi terhadap perceraian. Dengan tinggal bersama, katanya, pasangan dapat menguji kesetiaan, komunikasi, dan kecocokan hidup sehari-hari.
Secara psikologis, argumen ini tampak rasional. Hubungan romantis memang sering kali berubah drastis ketika dua individu mulai berbagi ruang, waktu, dan tanggung jawab. Dalam logika praktis, “menguji dulu sebelum resmi” mungkin terdengar masuk akal.
Namun, realitas sosial tidak sesederhana itu. Hubungan yang dibangun tanpa komitmen hukum dan nilai sakral sering kali rapuh. Ketika konflik datang, tidak ada landasan moral maupun hukum yang menuntun penyelesaian. Hubungan menjadi mudah diakhiri, dan rasa tanggung jawab pun cenderung kabur.
Bahkan, sejumlah riset sosiologi menunjukkan bahwa pasangan yang pernah hidup bersama sebelum menikah justru memiliki potensi perceraian lebih tinggi dibanding yang tidak. Hal ini karena hubungan tanpa ikatan pernikahan menanamkan “mental coba-coba” — bukan komitmen sejati.
Fenomena live together lahir dari semangat kebebasan individu yang berlebihan. “Tubuhku, pilihanku,” menjadi semboyan baru bagi sebagian generasi muda yang menolak batasan moral dan agama. Namun, ketika kebebasan dilepaskan tanpa tanggung jawab, ia berubah menjadi anarki nilai.
Masyarakat Indonesia memiliki akar budaya dan spiritual yang kuat. Nilai-nilai kesopanan, kehormatan, dan komitmen keluarga telah menjadi pilar peradaban Nusantara sejak lama. Dalam falsafah Jawa dikenal ungkapan “urip iku urup” — hidup itu memberi terang, bukan mengundang gelap. Ketika hubungan laki-laki dan perempuan kehilangan nilai sakral, maka yang padam bukan hanya moral, tapi juga makna hidup itu sendiri.
Live together mungkin terlihat sebagai gaya hidup modern, tetapi sebenarnya ia menciptakan krisis eksistensial: hilangnya arah tentang makna cinta, tanggung jawab, dan kesetiaan. Cinta direduksi menjadi kenyamanan fisik, bukan pengorbanan jiwa. Kebersamaan diukur dari kenikmatan, bukan ketulusan.
Dalam pandangan Islam, hubungan laki-laki dan perempuan diatur dengan tegas untuk menjaga kehormatan dan stabilitas sosial. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Ayat ini bukan sekadar larangan moral, melainkan peringatan sosial. Islam tidak hanya menolak zina sebagai tindakan, tetapi juga segala bentuk pendekatan menuju ke arah itu — termasuk kebiasaan hidup bersama tanpa nikah.
Rasulullah SAW juga bersabda:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan (yang bukan mahramnya), kecuali yang ketiganya adalah setan.” 9HR. At-Tirmidzi, no. 2165; Ahmad, no. 23482)
Hadis ini menegaskan bahwa kedekatan tanpa batas antara dua insan berlainan jenis cenderung membawa godaan dan dosa. Agama menolak live together bukan karena mengekang kebebasan, tetapi karena ingin menjaga kehormatan dan martabat manusia agar tidak jatuh ke jurang penyesalan.
Di balik narasi kebebasan, live together membawa konsekuensi sosial yang serius.
Pertama, krisis moral generasi muda. Normalisasi kumpul kebo menciptakan ambiguitas nilai. Anak-anak tumbuh tanpa kepastian tentang arti pernikahan, komitmen, dan tanggung jawab.
Kedua, kerentanan perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan menjadi pihak paling dirugikan. Ketika hubungan berakhir, tidak ada perlindungan hukum yang jelas. Anak yang lahir di luar pernikahan menghadapi stigma sosial dan kesulitan administratif.
Ketiga, kerapuhan keluarga masa depan. Kebiasaan memandang hubungan sebagai “eksperimen” menumbuhkan generasi yang enggan berkomitmen jangka panjang. Masyarakat pun kehilangan pondasi kepercayaan, yang seharusnya menjadi dasar keharmonisan sosial.
Keempat, kerusakan spiritual. Ketika hubungan dijalankan tanpa restu moral, hati kehilangan ketenangan. Banyak yang mengira kebebasan itu membahagiakan, padahal justru menimbulkan kekosongan batin.
Tidak dapat dipungkiri, kita hidup di era modern dengan pola pikir yang semakin liberal. Namun modernitas sejati bukanlah meniru kebebasan Barat secara mentah. Modernitas adalah kemampuan menyeimbangkan kebebasan dan tanggung jawab, teknologi dan moralitas, cinta dan komitmen.
Bangsa Indonesia memiliki kearifan lokal yang kaya. Dalam adat Minangkabau, misalnya, perkawinan bukan sekadar urusan dua individu, tetapi penyatuan dua keluarga besar. Dalam budaya Bugis, pernikahan disebut mappabotting, yang berarti “menyatukan janji di hadapan Allah dan manusia.” Semua nilai ini menunjukkan bahwa kebersamaan sejati tidak lahir dari sekamar, tetapi dari kesepakatan suci yang dijaga dengan tanggung jawab.
Daripada mencari pembenaran untuk live together, seharusnya kita memperkuat pendidikan moral dan emosional tentang makna cinta yang benar.
Pertama, pendidikan seks dan relasi perlu diajarkan secara sehat di sekolah dan keluarga. Tujuannya bukan menakut-nakuti, melainkan memberi pemahaman tentang konsekuensi moral dan sosial dari setiap pilihan.
Kedua, perlu ada ruang dialog antara generasi muda dan orang tua. Banyak anak muda memilih live together bukan karena jahat, tetapi karena kehilangan contoh rumah tangga yang harmonis. Jika keluarga menjadi tempat aman untuk berbicara, mereka tidak perlu mencari pelarian.
Ketiga, negara dan masyarakat harus menegakkan aturan sosial secara adil dan edukatif. Menghukum tanpa mendidik hanya menciptakan pemberontakan. Tetapi membiarkan tanpa bimbingan akan melahirkan generasi tanpa arah.
Keempat, media dan konten digital harus berperan membangun budaya cinta yang bermartabat. Influencer, film, dan musik seharusnya mengangkat nilai tanggung jawab, bukan hanya sensasi cinta tanpa arah.
Pada akhirnya, live together mungkin tampak sebagai solusi instan dalam menghadapi kompleksitas hubungan modern, namun jika direnungkan lebih dalam, praktik ini justru membuka pintu menuju bencana sosial, moral, dan spiritual. Pernikahan sesungguhnya bukan sekadar ikatan administratif, melainkan perjanjian suci antara dua jiwa di bawah restu Tuhan. Kebebasan sejati bukan hidup tanpa aturan, melainkan kemampuan untuk memilih kebenaran meski ada peluang untuk salah. Cinta tanpa komitmen hanyalah kenyamanan sesaat, sementara cinta yang dibingkai tanggung jawab, doa, dan pengorbananlah yang mampu melahirkan keluarga, masyarakat, dan bangsa yang kuat. Oleh karena itu, live together bukanlah solusi, melainkan gejala kegelisahan zaman yang kehilangan makna sejati cinta dan moralitas; jika kita menginginkan masa depan yang lebih baik, sudah saatnya kembali pada nilai-nilai yang memuliakan manusia, bukan menurunkan derajatnya. Jadilah manusia yang mampu menghargai diri sendiri dan jangan biarkan lalat menempel dibadan kita. Jika tidak mau bertanggung jawab untuk selamanya setelah terjadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI