Ketiga, kerapuhan keluarga masa depan. Kebiasaan memandang hubungan sebagai “eksperimen” menumbuhkan generasi yang enggan berkomitmen jangka panjang. Masyarakat pun kehilangan pondasi kepercayaan, yang seharusnya menjadi dasar keharmonisan sosial.
Keempat, kerusakan spiritual. Ketika hubungan dijalankan tanpa restu moral, hati kehilangan ketenangan. Banyak yang mengira kebebasan itu membahagiakan, padahal justru menimbulkan kekosongan batin.
Tidak dapat dipungkiri, kita hidup di era modern dengan pola pikir yang semakin liberal. Namun modernitas sejati bukanlah meniru kebebasan Barat secara mentah. Modernitas adalah kemampuan menyeimbangkan kebebasan dan tanggung jawab, teknologi dan moralitas, cinta dan komitmen.
Bangsa Indonesia memiliki kearifan lokal yang kaya. Dalam adat Minangkabau, misalnya, perkawinan bukan sekadar urusan dua individu, tetapi penyatuan dua keluarga besar. Dalam budaya Bugis, pernikahan disebut mappabotting, yang berarti “menyatukan janji di hadapan Allah dan manusia.” Semua nilai ini menunjukkan bahwa kebersamaan sejati tidak lahir dari sekamar, tetapi dari kesepakatan suci yang dijaga dengan tanggung jawab.
Daripada mencari pembenaran untuk live together, seharusnya kita memperkuat pendidikan moral dan emosional tentang makna cinta yang benar.
Pertama, pendidikan seks dan relasi perlu diajarkan secara sehat di sekolah dan keluarga. Tujuannya bukan menakut-nakuti, melainkan memberi pemahaman tentang konsekuensi moral dan sosial dari setiap pilihan.
Kedua, perlu ada ruang dialog antara generasi muda dan orang tua. Banyak anak muda memilih live together bukan karena jahat, tetapi karena kehilangan contoh rumah tangga yang harmonis. Jika keluarga menjadi tempat aman untuk berbicara, mereka tidak perlu mencari pelarian.
Ketiga, negara dan masyarakat harus menegakkan aturan sosial secara adil dan edukatif. Menghukum tanpa mendidik hanya menciptakan pemberontakan. Tetapi membiarkan tanpa bimbingan akan melahirkan generasi tanpa arah.
Keempat, media dan konten digital harus berperan membangun budaya cinta yang bermartabat. Influencer, film, dan musik seharusnya mengangkat nilai tanggung jawab, bukan hanya sensasi cinta tanpa arah.
Pada akhirnya, live together mungkin tampak sebagai solusi instan dalam menghadapi kompleksitas hubungan modern, namun jika direnungkan lebih dalam, praktik ini justru membuka pintu menuju bencana sosial, moral, dan spiritual. Pernikahan sesungguhnya bukan sekadar ikatan administratif, melainkan perjanjian suci antara dua jiwa di bawah restu Tuhan. Kebebasan sejati bukan hidup tanpa aturan, melainkan kemampuan untuk memilih kebenaran meski ada peluang untuk salah. Cinta tanpa komitmen hanyalah kenyamanan sesaat, sementara cinta yang dibingkai tanggung jawab, doa, dan pengorbananlah yang mampu melahirkan keluarga, masyarakat, dan bangsa yang kuat. Oleh karena itu, live together bukanlah solusi, melainkan gejala kegelisahan zaman yang kehilangan makna sejati cinta dan moralitas; jika kita menginginkan masa depan yang lebih baik, sudah saatnya kembali pada nilai-nilai yang memuliakan manusia, bukan menurunkan derajatnya. Jadilah manusia yang mampu menghargai diri sendiri dan jangan biarkan lalat menempel dibadan kita. Jika tidak mau bertanggung jawab untuk selamanya setelah terjadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI