Pernahkah mendengar kisah detektif conan, yang bercerita tentang seorang anak yang menjadi detektif dari kasus kasus pembunuhan ya sebagian dari kita pasti pernah tau kisah conan tersebut baik lewat komik atau filmnya, sekarang tiba tiba didunia nyata kita digegerkan dengan kasus kematian wayan mirna solihin di sebuah coffe shop yang ada di grand indonesia, karena kematiannya tidak wajar dengan ditemukannya sejenis racun yang bernama sianida. Kemudian publik menjadi terkuras perhatiannya pada kelanjutan pengungkapan kasus ini seolah olah kita dibawa dalam kisah kisaah conan dalam pengungkapan kasusnya.
Hampir semua media baik media cetak maupun elektronik tidak hentinya membahas kisah tragedi kopi beracun. Dan tidak sedikit juga para ahli mengemukakan teori kematian mirna melalui sudut pandangnya baik krimolog, psikolog forensik, paakar pidana dan banyak lagi bahkan tidak jarang kita juga dalam keseharian bersama kawan memperdebatkan hal ini tentu sebatas dengan logika dan pemahaman masing masing.
Menurut logika publik bagaimana mungkin polisi sangat sulit mengungkap siapa pelaku dari pembunuhan ini sementara ketika terjadinya pembunuhan ini korban hanya ada bertiga bersama dua orang temannya, jika logika sederhana yang dipakai pasti yang menjadi pembunuhnya adalah satu dari dua orang temannya atau bahkan kedua orang temannya ini. Lantas dengan kontruksi pemikiran yang demikian maka mulai dibangun cerita yang masuk akal untuk mendukung teori tersebut.Lantas mengapa polisi membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengungkap motif dan pelaku utama kisah pembunuhan kopi beracun. Jawabannya karena polisi tidak bisa dan tidak diperkenankan untuk mentersangkakan seseorang berdasarkan subjektivitas, dan ini adalah salah satu ciri polisi yang profesional.
Polisi sebagai penyidik dan penyelidik adalah untuk membuktikan apakah ada peristiwa pidana dalam kematian itu dan setelah ada kemudian mengungkapkan siapa pembunuh tersebut dengan tetap mengacu kepada asas praduga tak bersalah. Oleh karenanya demi kepastian hukum kepolisian dalam menetapkan status tersangaka kepada seseorang harus memiliki setidaknya meiliki bukti permulaan yang cukup sedangkan yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup menutur Kapolri dalam surat keputusannya No. Pol.SKEEP/04/I1982,tanggal 18 Februari menentukan bahwa, bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua di antara:
- Laporan Polisi;
- Berita Acara Pemeriksaan di TKP;
- Laporan Hasil Penyelidikan;
- Keterangan Saksi/saksi ahli; dan
- Barang Bukti.
Maka jika kita ikuti kasus ini sekarang jesica sebagai salah satu teman korban yang ada di TKP saat pembunuhan telah ditetapkan menjadi tersangka, maka berdasarkan hal tersebut tentunya pasti polisi sudah memiliki bukti permulaan yaang cukup dalam mentersangkakan jesica. Namun disinilah kerumitan kasus ini semakin nampak karena untuk dapat menaikan kasus ini kekejaksaan tidak semudah yang publik bayangkan. Karena sebenarnya tersangka belum tentu seorang pelaku sepanjang belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Lantas sebagian orang pasti berfikir jesica pasti pembunuhnya karena statusnya sudah tersangka, sayangnya, tidak demikian untuk bisa menaikan status seorang tersangka menjadi terdakwa polisi harus dapat mengungkap motif pembunuhan mirna, jika benar jesica pelakunya seperti yang disangkakan pihak kepolisian polisi harus mampu memgungkapkan kapan racun itu di letakan, kenapa jesica harus membunuh mirna apa sebab dan tujuannya, dan harus ada bukti yang jelas dan tak terbantahkan! jika tidak ini akan menjadi sebuah masalah karena jika benar jesica adalah pelakunya maka tanpa adanya bukti yang tak terbantahkan itu maka jesica bisa berkelit dan akhirnya terbebas, sebaliknya jika jesica adalah bukan pelakunya maka polisi akan menambah korban baru karena selain mirna maka jesica menjadi korban salah tangkap ada adagium terkenal dalam hukum pidana "lebih baik melepaskan seribu orang bersalah daripada memenjaarakan satu orang tidak bersalah".
Jika kita lihat waktu kejadian pembunuhan tersebut maka paling tidak ada 4 orang yang ada di tempat itu yaitu mirna, jesica, seorang sahabat mereka di caffe terebut namun ada juga suami mirna d Grand Indonesia walaupun tidak berada di caffe itu. Namun di tempat itu ada juga pelayan dan beberapa orang tamu lainnya, namun untuk apa tamu lain atau pelayan itu membunuh mirna? Namun untuk apa juga jesica membunuh mirna itu lah motif yang harus diungkap polisi! Ada salah satu pakar juga mengatakan bahwa mirna merupakan korban yang salah sasaran? Menambah lagi peliknya permasalahan ini.
Sebelum di tangkap jesica dikatakan membuang celananya, namun jesica mengatakan celana itu dibuang karena sudah sobek, kemudian jika polisi menetapkan jesica sebagai tersangka maka harus dapat dibuktikan bahwa celana itu merupakan petunjuk atau barang bukti pembunuhan jika dicelana itu terdapat sianida atau apa saja yang dapat mengaitkan hal itu. Dalam pidana Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19).
Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah, dan dalam hal ini 2 alat bukti yang sah pasti sudah ada namun motif dan alat bukti tersebut harus tidak terbantahkan ketika di uji di pengadilan nanti. Sekali lagi yang bisa menentukan orang bersalah atau tidak ialah pengadilan jadi ada baiknya kita tidak menjadi hakim jalanan yang menghakimi melalui media sosial boleh saja kita berpedapat tapi jangan memvonis sebelum adanya persidangan.
Kasus ini akan menguji apakah kepolisian kita bisa menjadi polisi yang profesional dengan mentersangkakan seseorang dengan hati-hati dan mengungkapkan motif itu secara objektif tanpa dipaksanakan dan tidak terbantahkan sehingga hukum bisa tegak dan tidak malah menimbulkan korban korban salah tangkap baik untuk kasus ini ataupun kasus lainnya, karena tidak ada kejahatan yang sempurna hanya saja aparat penegak hukum harus bekerja serius dan profesional bukan dengan subjektivitas tetapi dengan objektifitas kendati itu terlihat lebih rumit ingat keadilan harus ditegakan dengan cara yang baik dan adil pula.
"Fiat justitia ruat coeleum" .. hukum harus tetap ditegakkan, biarpun langit runtuh