Dalam kehidupan beragama dan berbangsa, kepemimpinan bukan sekadar soal siapa yang memegang kekuasaan, tetapi tentang bagaimana nilai-nilai dijalankan. Pemimpin sejatinya adalah amanah — bukan kehormatan yang harus dibanggakan, melainkan tanggung jawab yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Karena itu, kualitas kepemimpinan sangat ditentukan oleh dua kunci utama: keadilan dan ketaatan.
Keadilan dan ketaatan adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama. Keduanya saling melengkapi dan saling meneguhkan. Namun, di zaman ini, keduanya sering kali terpisah. Kita hidup di masa di mana pemimpin menuntut ketaatan tanpa memperlihatkan keadilan, dan rakyat menuntut keadilan tanpa bersedia menaati aturan. Padahal dalam pandangan Islam, kedua hal ini tidak bisa dipisahkan. Keadilan tanpa ketaatan melahirkan kekacauan, sedangkan ketaatan tanpa keadilan menumbuhkan ketertindasan.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini menegaskan bahwa keadilan adalah fondasi kepemimpinan. Adil bukan berarti sama rata, tetapi menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Adil kepada diri sendiri berarti berani menahan hawa nafsu dan tidak menyalahgunakan jabatan. Adil kepada keluarga berarti tidak memberi perlakuan istimewa hanya karena kedekatan. Adil kepada rakyat berarti memperlakukan semua dengan ukuran kebenaran, bukan kepentingan.
Namun, keadilan tidak akan berarti tanpa ketaatan. Karena dalam Al-Qur’an pula disebutkan:
“Taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 59)
Ketaatan di sini bukan ketaatan buta, melainkan ketaatan yang sadar dan terukur. Selama pemimpin tidak memerintahkan kemaksiatan, maka ketaatan kepadanya adalah bentuk penghormatan terhadap tatanan ilahi. Sebab masyarakat yang taat mencerminkan kedewasaan dan kematangan spiritual: mereka patuh bukan karena takut, tetapi karena memahami nilai keteraturan.
Sungguh menarik jika kita renungkan ungkapan, surganya pemimpin bukan terletak pada taatnya rakyat, tetapi pada adilnya ia memimpin. Sedangkan surganya rakyat tidak bergantung pada adilnya pemimpin, tetapi pada ketaatan mereka. Pemimpin akan ditanya tentang tanggung jawabnya terhadap keadilan, sementara rakyat akan ditanya tentang ketaatannya. Maka, antara pemimpin dan rakyat tidak saling menggantungkan keselamatan, tetapi saling melengkapi dalam tanggung jawab moral di hadapan Allah.
Rasulullah ﷺ juga memberikan panduan yang sangat indah tentang hubungan antara pemimpin dan umatnya. Beliau bersabda:
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian; kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian.” (HR. Muslim)
Hadits ini menggambarkan bahwa hubungan pemimpin dan rakyat idealnya bukan didasari rasa takut atau curiga, tetapi saling cinta dan saling mendoakan. Ketika pemimpin mencintai rakyatnya, ia akan berusaha berlaku adil dan menyejahterakan mereka. Dan ketika rakyat mencintai pemimpinnya, mereka akan taat, mendukung, dan menjaga kehormatannya. Cinta dan doa menjadi energi moral yang menghidupkan harmoni sosial.
Namun kenyataannya, dalam konteks sosial hari ini, banyak pemimpin yang terjebak pada simbol kekuasaan dan melupakan esensi keadilan. Mereka merasa ditaati adalah ukuran keberhasilan. Padahal, keadilanlah yang menjadi tolok ukur sejati. Pemimpin yang adil tidak selalu populer, tetapi akan selalu dikenang karena ketulusannya dalam menegakkan kebenaran.
Sebaliknya, di antara rakyat, sering muncul sikap kritis yang tidak lagi dilandasi niat baik, melainkan ketidakpercayaan dan kebencian. Kritik tanpa ketaatan hanya menghasilkan perpecahan. Sementara ketaatan tanpa keberanian menegur kemungkaran juga tidak sehat. Keduanya harus berjalan beriringan: taat selama tidak maksiat, dan menegur ketika keadilan dilanggar.
Jika kita mau jujur, tantangan terbesar dalam kepemimpinan saat ini bukan kurangnya kecerdasan atau kemampuan manajerial, melainkan hilangnya keseimbangan antara keadilan dan ketaatan. Di ruang publik, dua kata itu sering diucapkan, tetapi jarang diwujudkan. Kita terbiasa menuntut, tetapi lupa berkontribusi. Kita ingin dihormati, tetapi enggan menghormati.
Padahal, ketika keadilan dan ketaatan berjalan bersama, lahirlah tatanan yang harmonis. Pemimpin yang adil menumbuhkan kepercayaan, dan rakyat yang taat menumbuhkan kekuatan. Jika dua hal ini hadir dalam satu sistem sosial, maka Allah akan menurunkan keberkahan dari langit dan bumi. Seperti yang disinggung dalam QS. Al-A’raf ayat 96:
“Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
Artinya, keadilan dan ketaatan bukan sekadar urusan sosial, tetapi juga spiritual. Ia menentukan apakah suatu bangsa akan diberkahi atau diuji. Pemimpin yang adil dan rakyat yang taat adalah dua poros yang membuat roda kehidupan berputar dengan seimbang.
Kini, barangkali kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah dua kunci itu masih kita pegang? Apakah para pemimpin kita masih menjunjung keadilan? Apakah rakyat masih memelihara ketaatan?
Keadilan dan ketaatan bukan nilai lama yang ketinggalan zaman. Justru, di tengah dunia yang semakin gaduh dan penuh kecurigaan ini, keduanya adalah cahaya yang menuntun kita pulang — kembali pada fitrah kepemimpinan yang diridhai Allah. Karena sesungguhnya, kepemimpinan sejati bukan tentang seberapa besar kita ditaati, tetapi seberapa adil kita memimpin.
Keadilan tanpa ketaatan hanya melahirkan kekacauan, dan ketaatan tanpa keadilan hanya menciptakan ketertindasan — tapi ketika keduanya berpadu, di sanalah lahir peradaban yang dirahmati. (BM)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI