Mohon tunggu...
Ibnu Budiman
Ibnu Budiman Mohon Tunggu... -

Researcher | Writer\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hidup di Jakarta, Tua di Jalan?

30 Januari 2015   08:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:07 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14230449861753485216

Ilustrasi kemacetan Jakarta. (KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES)

Jarak yang semakin jauh antara rumah dan pekerjaan, parahnya kemacetan, hingga fenomena alam yang sering kali terjadi seperti banjir pada saat ini tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan di Jakarta. Hal-hal tersebut sudah terasa sangat normal bagi warga Jakarta sehingga warga Jakarta memiliki persepsi yang unik mengenai waktu dan ruang di Ibu Kota. Namun, apakah benar bahwa banyaknya waktu yang rata-rata dihabiskan di luar rumah bagi warga Jakarta telah menciptakan gaya hidup yang berbeda?

Menurut sebuah penelitian sebelumnya dari Departemen Sosiologi National University of Singapore (NUS), fakta bahwa warga perkotaan harus menghabiskan banyak waktu di luar rumah, baik untuk bekerja maupun berkomuter di perjalanan, telah menciptakan fenomena yang disebut dengan istilah “provisional” atau temporer bagi warga Jakarta.

Saat ini, saya ingin mengembangkan lebih lanjut hasil dari penelitian di atas. Melalui artikel ini, saya ingin mengajak para pembaca yang pernah di Jabodetabek untuk turut berkomentar terkait fenomena ini.

Berbeda dengan istilah provisional, lawannya yaitu istilah permanen didefinisikan sebagai sebuah struktur yang diciptakan oleh sejumlah proses yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi formal (World Bank, 2014). Melalui kegiatan mereka, sesuatu kemudian dianggap dapat menjadi ‘permanen’ atau memiliki prospek jangka panjang yang lebih lama, seperti contohnya adalah keberadaan sejumlah gedung tinggi perkantoran, lalu lintas jalan raya, dan juga termasuk hal-hal abstrak seperti beberapa aturan yang mengatur hubungan antar individu atau perorangan, contohnya seperti norma sosial tentang penentuan kapan waktu yang tepat untuk menikah.

Provisional, di sisi lain dipahami sebagai struktur yang dianggap tidak akan bisa jadi permanen, seperti contohnya yaitu para pedagang kaki lima, perubahan tata kota yang memunculkan konstruksi baru jalan raya, dan juga kembali termasuk hal-hal abstrak seperti penggunaan sementara dari anjuran atau himbauan tertentu untuk memperbaiki kualitas interaksi antar warga atau dalam sebuah pasangan keluarga, contohnya seperti penentuan waktu yang tepat untuk memiliki anak.

Dalam penelitian ini, kami bertujuan ingin melihat istilah provisional sebagai sebuah fenomena yang tidak memosisikan diri mereka untuk melawan arus utama dari kegiatan-kegiatan sosial, politik, ataupun tindakan filosofis, yang mana agenda-agenda tersebut memiliki tujuan yang lebih oportunis, pragmatis, strategis, dan optimis (Kedan, 2009).

Keadaan ini umumnya terlihat jelas pada sektor ekonomi informal (pedagang kaki lima). Pedagang kaki lima merupakan unit usaha yang tidak permanen dalam hal ruang, yang menyediakan serangkaian produk dan jasa seperti makanan, minuman, pulsa, reparasi kendaraan, bahkan MCK. Pedagang kaki lima juga kerap menjadi sarana atau tempat untuk bersantai menunggu jam buka kantor atau menunggu macet reda. Lingkungan yang temporer seperti ini dapat dikatakan seperti ‘rumah’ kedua bagi sejumlah besar komuter di Ibu Kota.

Ruang provisional di Jakarta umumnya terdiri dari struktur atau bangunan yang sifatnya ringan, bongkar-pasang, dan dapat diangkut. Karena sifat-sifat tersebut serta dapat ditemukannya unit-unit usaha tersebut setiap hari, setiap minggu, atau setiap musim, dan karena kemampuan struktur tersebut untuk bercampur dengan suasana perkotaan, lingkungan provisional biasanya tidak muncul dalam pemetaan pemerintah kota. Dan uniknya lagi, karena keberadaan lingkungan provisional tersebut di satu tempat selama jangka waktu yang cukup panjang, lingkungan tersebut lambat laun menjadi permanen di lokasinya. Fenomena provisional tersebut tidak hanya timbul di dalam ruang Kota Jakarta; fenomena tersebut juga hadir dalam keseharian hidup para komuter di Jakarta.

Menurut para peneliti di National University of Singapore, banyaknya waktu yang dihabiskan di luar rumah atau komunitas memungkinan para komuter memiliki gaya hidup provisional. Karena profesi atau pekerjaan yang menuntut para komuter menghabiskan banyak waktu untuk bekerja atau di perjalanan, maka banyak pilihan yang dibuat para komuter seperti menunda tuntutan sosial (contohnya, menikah) atau menghindari terlibat kegiatan sosial di komunitas (contohnya, arisan atau kerja bakti). Penundaan atau penghindaran seperti ini tentunya merupakan akibat dari cara hidup para komuter yang harus terus-menerus transit dari rumah ke pekerjaan dan sebaliknya. Sama halnya seperti fenomena ruang di Jakarta, cara hidup tersebut merupakan akibat dari pilihan yang dibuat komuter. Bedanya, komuter hidup bermigrasi per jam dan bukan per hari seperti halnya para pedagang kaki lima yang bermigrasi ke pusat kota selama sehari penuh hingga dapat membuat ruang hidup permanen.

Dengan demikian, menurut penelitian NUS, gaya hidup provisional dapat menjadi respons strategis para penduduk yang berkomuter dari pinggiran kota (Jabodetabek) ke pusat kota. Singkatnya, dengan gaya hidup provisional tersebut para komuter mampu melepaskan diri dari kewajiban sosial dan keluarga untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun