Mohon tunggu...
Budiman Hakim
Budiman Hakim Mohon Tunggu... Administrasi - Begitulah kira-kira

When haters attack you in social media, ignore them! ignorance is more hurt than response.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Functional Benefit Vs Emotional Benefit

13 Oktober 2019   19:56 Diperbarui: 6 Januari 2020   16:29 2822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dunia marketing sering ada perdebatan mengenai functional benefit dan emotional benefit. Banyak orang departemen marketing lebih suka menggunakan Functional benefit daripada emotional benefit. Alasannya, "orang kita di laboratorium udah capek-capek bikin benefit masak bukan itu yang kita angkat?"

Sebetulnya bedanya apa, sih? Jawabannya sederhana: Perbedaannya ada di sasaran tembak. Functional benefit mengirim pesan pada consciuos mind konsumen (pikiran sadar). Sedangkan emotional benefit mengarah pada subconscious mind (pikiran bawah sadar).

Conscious mind adalah domain dari logika. Dengan membidik conscious mind artinya kita mengajak konsumen untuk berpikir dan membandingkan produk kita dengan produk lain. Misalnya: Kita punya produk kecap dengan brand 'Cinta'.

Kita bisa bilang bahwa kecap Cinta bukan cuma menyedapkan makanan. Berbeda dengan merek lain, kecap Cinta juga mengandung protein yang lebih tinggi. Bahkan diperkaya dengan omega 9 dan DHA yang sangat diperlukan oleh tubuh.

Emotional benefit mengajak konsumen membangun pertalian hati. Misalnya: Rahasia kebahagiaan keluarga itu cuma satu, yaitu: Cinta. Campaignnya, kita tinggal bikin berbagai happy moment dalam keluarga lalu biarkan Sang Kecap hadir dan menjadi bagian dari happy moment itu. Artinya Kecap Cinta adalah bagian dari kasih sayang keluarga.

Pada taraf launching, sebuah brand baru memang perlu menampilkan functional benefit. Namanya juga masa perkenalan, kita harus menerangkan siapa kita dan apa manfaat dari kita. 

Setelah masa perkenalan dirasa cukup, kita bisa melangkah ke pendekatan emotional benefit. Dan itu mutlak harus dilakukan. Makanya saya suka heran ngeliat sebuah brand yang masih saja melakukan pendekatan functional benefit padahal dia sudah exist selama lebih dari 10 tahun.

Pendekatan functional benefit sangat mudah digoyahkan oleh produk pesaing. Mereka tinggal mencari tau apa aja sih kelebihan kecap kita? Kenapa konsumen memilih brand A? 

Apa yang salah dengan brand kita? Setelah penelitian dilakukan, bukan cuma jawabannya yang diperoleh tapi dengan mudah mereka juga menemukan cara meng-counternya.

"Oh, gini doang ternyata? Kalo gitu tambahin lagi, deh, produk kita dengan Vit A, B dan C. Plus non-karbohidrat," kata Pak Kompetitor.

Lalu apa yang terjadi? Konsumen yang ditembak conscious mind-nya langsung pindah karena (secara logika) mereka menemukan hal yang lebih baik. Apalagi kalo mereka sangat peduli pada kesehatan.

Emotional benefit biasanya lebih kokoh. Karena pesan yang masuk ke subconscious mind gak ada hubungannya dengan logika. Mereka menyukai kecap Cinta bukan hanya karena fungsinya. Emotional bonding yang terjadi antara konsumen dan produk itu sudah masalah hati. Kalo udah masalah hati berat, tuh, dipisahkan.

Sama kayak orang lagi jatuh cinta; Kalo udah cinta mati, kita tiba-tiba gak peduli apakah pacar kita miskin, jelek dan beda agama. Biar ada cowok kaya, ganteng dan seiman, ceweknya tetep aja gak peduli. Karena fondasi hubungan mereka itu berlandaskan emosi. Sementara ganteng, kaya dan seiman itu soal fungsi.

Kalo lagi bengong di malam hari sambil gulak-gulik di ranjangnya, cewek itu kadang suka mengevaluasi drinya sendiri, "Kok bisa jadi begini, ya? Padahal dari dulu gue pengen dapet pasangan yang kaya, cakep dan seiman."

Malam berikutnya Si Cewek mikir lagi secara logika, "Gimana, ya? Kalo gue kawin sama dia, keluarga gue pasti gak setuju. Temen-temen pasti banyak yang musuhin."

Lucunya abis mikir gitu, akhirnya dia kawin juga sama cowok jelek, miskin dan beda agama itu. Dari sini dapat disimpulkan; serasional apapun sebuah logika ternyata gak cukup kuat untuk mendobrak hubungan emosional.

"Abis dia BAIK banget, sih. Aku selalu NYAMAN bersama dia. Udah gitu sexnya jago banget pulak." Begitu jawabnya kalo ditanya orang-orang terdekat.

Terlihat di sini bahwa bukan cuma orang lain tapi logikanya sendiri aja gak mampu memisahkan hubungan keduanya. Jadi begitulah kedahsyatan ilmu marketing dengan pendekatan emotional benefit. Pesan yang tertanam di subconscious mind akan berdiri kokoh tak terkalahkan oleh pengaruh apapun, baik dari luar maupun dari dalam.

Persis seperti yang Gombloh bilang "Kalo cinta sudah melekat, tai kucing rasa cokelat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun