Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Catatan

BI: Kredit Motor Ojek Wajib Pakai DP

17 Maret 2012   09:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:55 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya belum tahu apakah tukang ojek dianggap sebuah profesi atau jenis pekerjaan yang diakui dan bisa dicantumkan di KTP atau tidak. Namun,  jasanya terasakan saat saya pergi bekerja setiap hari. Mereka relatif tersedia kapan saja dan di mana saja. Coba saja lihat di setiap perumahan yang tidak dilewati jalan umum. Mereka selalu bergerombol di perempatan. Kita pun sudah terbiasa dengan sebutan pangkalan ojek yang dilengkapi dengan bangunan setengah permanen, bahkan ada yang dipasang televisi segala.

Kendaraan bermotor di Indonesia memang tumbuh luar biasa, baik beroda empat maupun dua. Lihat saja jalan-jalan di ibukota yang tidak pernah sepi dari deru kendaraan bermotor yang tiada bosannya tertahan di tengah kemacetan. Serobotan dan gerakan zig-zag motor pun sudah menjadi pemandangan biasa. Mereka bisa berkelit di antara jepitan kendaraan pribadi dan angkutan kota, bahkan derunya sering terdengar di gang-gang sempit atau jalan tikus saat penikmat jasa motor ojek hendak menghindar dari kepungan kemacetan.

Pertumbuhan kendaraan bermotor  yang tinggi membuat Bank Indonesia khawatir. BI pun mensinyalir gejala tersebut disebabkan oleh kemudahan bank untuk menyalurkan kredit kendaraan bermotor (KKB).  Selain KKB, BI pun khawatir dengan pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR). Pertumbuhan kredit kedua obyek tersebut bisa menimbulkan gejala harga motor dan rumah tidak lagi mencerminkan harga yang sesungguhnya. Menggelembung atau buble, kata BI. Ujungnya adalah peningkatan risiko kredit yang harus ditanggung oleh pihah bank yang menyalurkan KPR dan KKB.

Dengan dalih itulah BI mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor. Surat Edaran tersebut merupakan salah satu pedoman teknis dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009. Naskah lengkap SE BI tersebut dapat dilihat di sini.

[caption id="attachment_166623" align="alignnone" width="595" caption="Mungkinkah mobil dan motor makin sedikit melintas di depan BI akibat SE Nomor 14/10/DPNP? (foto doc pribadi)"][/caption]

Saya tertarik dengan Frequently Ask Question (FAQ) yang menjadi dokumen lampiran dari Surat Edaran BI tersebut. Di situ tertulis: “Berapa DP untuk KKB kendaraan yang digunakan untuk ojek?”. BI pun menjawabnya sendiri: “Motor yang digunakan untuk ojek merupakan kendaraan bermotor roda dua sehingga aturan DP yang dikenakan untuk pembelian motor adalah sebesar 25% sesuai dengan ketentuan butir IV.C.1 SE ini”. Dokumen FAQ selengkapnya dapat dilihat di sini.

Lalu, apakah kebijakan ini efektif untuk meredam pertumbuhan motor?

Pertama, pertumbuhan motor bukan hanya karena kemudahan pemberian kredit oleh perbankan saja. Masyarakat tentu ingin mempunyai moda transportasi yang murah dan cepat. Saat keran impor motor semakin meningkat, dengan harga yang relatif murah juga- maka masyarakat menempatkan motor seolah sudah menjadi kebutuhan primer. Dugaan saya, penentuan batas minimal uang muka atau Down Payment (DP) tidak akan terlalu efektif mengerem laju pertumbuhan motor di Indonesia.

Kedua, masyarakat rasanya tidak harus menyicil kredit motor ke bank saja. Saat ini sudah banyak dealer atau distributor yang dilengkapi fasilitas penjualan motor dengan cara kredit. Selain itu, banyak lembaga keuangan lainnya, misalnya koperasi simpan pinjam, bisa menyediakan dana pinjaman juga. Kalau hanya menyediakan dana pinjaman sebesar belasan juta, rasanya masyarakat pun tidak perlu mengandalkan kredit dari bank. Apalagi prosedur pengajuan kredit di bank bisa lebih berbelit dan rumit. Fenomena lembaga lain yang berfungsi seperti bank ini disebut dengan shadow banking, yang pernah ditulis sebelumnya di sini. Selama BI belum bisa mengatur fenomena shadow banking ini, efektifitas kebijakan pengaturan penyaluran kredit ini masih bisa diperdebatkan.

Ketiga, motivasi membeli aset pribadi kadang tidak hanya terhalang oleh keterbatasan sumber uang saja. Kalau memang masyarakat butuh motor, apapun bisa dilakukan atau diusahakan. Apalagi untuk kaum menengah di perkotaan yang secara finansial mampu membeli motor tanpa kredit dari bank. Motor sangat efektif menempuh jarak pendek atau berkelit dari kemacetan. Saat transportasi publik masih menghadapi kendala layanan dan kapasitas, atau tidak ada pembatasan penggunaan motor di jalan, motor tetap menjadi andalan, baik untuk kendaraan pribadi, kendaraan operasional perusahaan, atau bagai tukang ojek.

Terakhir, kebijakan ini seperti menemukan momentumnya saat wacana kenaikan BBM pada awal April nanti. BI seolah berharap masyarakat berfikir ulang untuk membeli kendaraan. Soal ini, peluangnya masih fifty-fifty. Selama fungsi motor lebih efektif daripada menggunakan angkutan publik, masyarakat masih tetap akan membeli motor, pun para tukang ojek, tanpa harus meminjam ke bank. Kalau toh tetap mengandalkan kredit bank, uang DP sebesar 2-3 juta bisa didapat dari pinjaman dari orang terdekat atau lembaga non-bank. Lalu dana tersebut disetor ke bank sebagai DP untuk KKB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun