Kahar tersenyum mendengar ide itu. "Ayo, kita bikin kontes! Misalnya, siapa yang paling lucu menjelaskan program kerjanya. Pasti banyak yang bikin meme!"
Rijal menggelengkan kepala, tapi ada senyuman di wajahnya. "Tapi jangan sampai semua ini jadi olok-olok. Kita butuh cara untuk merangkul semua orang, supaya mereka paham bahwa suara kita itu penting."
Kobar, dengan wajah penuh semangat, berkata, "Bener, kita harus bikin gerakan. 'Democrazy 101'! Ajak semua orang belajar tentang hak suara, tanggung jawab, dan bagaimana cara mengekspresikan pendapat secara efektif!"
Badu menambahkan, "Tapi jangan lupa, kita harus pakai humor. Supaya semua orang mau denger. 'Kalau kamu nggak mau suara, yaudah, main sulap aja di atas panggung! Biar kami yang ngurus negara!'"
Kahar mengangguk setuju. "Kita perlu merangkul semua kalangan. Dari yang muda hingga yang tua. Supaya semua bisa berpartisipasi, bukan cuma jadi penonton."
Rijal menatap teman-temannya. "Jadi, kita bakal bikin festival demokrasi, dengan tema 'Democrazy'? Biarkan orang-orang tampil dengan cara yang unik dan menyenangkan, sambil menyampaikan aspirasi mereka?"
Kobar tersenyum lebar. "Iya! Kita bakal tunjukkan bahwa demokrasi bisa jadi seru! Nggak cuma sekedar pilih-pilih, tapi benar-benar mengekspresikan diri!"
Dan malam itu, di warung kopi sederhana, empat sahabat itu bertekad untuk menggugah kesadaran rakyat tentang pentingnya berpartisipasi dalam demokrasi, meskipun dalam bentuk yang penuh humor dan keceriaan. Mereka siap untuk beraksi, mengubah democrazy menjadi demokrasi yang sebenarnya, di mana suara mereka tak lagi jadi sekadar angin lalu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI