Di sebuah warung kopi di sudut kota, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal duduk santai di sebuah meja bundar. Suasana hangat warung yang dikelola Pak Surya itu kontras dengan topik panas yang sedang mereka bahas: demokrasi yang kian tak karuan, alias "democrazy".
Kobar, yang dikenal sebagai pengamat politik amatir, membuka percakapan. "Eh, guys! Lu pada sadar nggak sih? Demokrasi kita udah berubah jadi democrazy! Semua orang mau suara, tapi pada bingung mau pilih siapa!"
Kahar, yang selalu optimis, mengangguk. "Bener juga, Bor. Rakyat jadi bingung, politisi malah makin seru. Semua pada adu orasi, tapi isinya? Kosong!"
Badu, yang senang humor sarkastis, menimpali. "Iya, semua kayak pesertanya reality show, 'Siapa yang Mau Jadi Presiden?'. Tiap minggu ada yang dieliminasi, dan yang survive tinggal bisa nyanyi atau joget!"
Rijal, yang lebih serius, mencermati situasi. "Tapi beneran, ini udah kacau. Rakyat jadi penonton drama politik, sementara yang di atas main sandiwara. Dulu kita mau suara kita didengar, sekarang malah kita disuruh 'like' dan 'share' di medsos!"
Kobar menggeleng. "Kita bukan artis di panggung, Ji. Kita butuh kebijakan, bukan likes! Yang ada, mereka cuma sibuk mikirin trending topic, bukan masalah nyata rakyat."
Badu kembali menimpali dengan nada penuh sindiran. "Gue bisa bayangin, nanti ada menteri baru, 'Menteri Medsos', yang tugasnya bikin hashtag-hashtag keren untuk setiap kebijakan. '#RakyatBahagia' tapi realita di lapangan? Ya ampun!"
Kahar mencoba memberikan perspektif positif. "Eh, tunggu dulu. Mungkin ini saat yang tepat buat kita sebagai rakyat untuk lebih kritis. Kita bisa ajukan pertanyaan-pertanyaan penting ke mereka. 'Demokrasi itu apa sih sebenarnya?'"
Rijal mengangkat alisnya. "Demokrasi itu memberi kita suara, tapi bukan suara yang didengar. Kita kayak band yang main di panggung kosong, tanpa penonton. Apalagi, yang datang cuma untuk ambil gambar!"
Kobar melanjutkan, "Dan setiap kali kita coba bersuara, selalu ada yang nyaring dengan suara lebih keras. 'Bukan itu, ini loh yang benar!' Makin bingung kan?"
Badu tertawa. "Makanya, kita butuh 'Democrazy Fair'! Semua bisa unjuk suara, tapi dengan aturan: satu suara, satu tawa! Nanti kita adakan juri, yang paling konyol ya itu yang terpilih!"