Sopir angkot menitipkan pesan agar nanti bila ditanya pengemudi ojeg, bilang saja saudara dari sang sopir. Benar saja. Di Tugu, belum juga kendaraan berhenti, beberapa orang mengejar dan menawarkan tumpangan.
"Saudaranya sopir," saya memastikan seraya mengarahkan jari ke pengemudi.
Menjelang tujuan, sopir menunjukkan tempat angkot biasa ngetem. "Cuman mesti nunggu lama. Sekarang angkot tinggal lima atau kurang. Dulu sih banyak."
Di sepanjang jalan saya tidak melihat angkot lewat. Tidak satupun.
Angkot mengantar sampai depan gerbang masuk. Kata sopir, mobil akan dikenakan ongkos parkir jika ke dalam. Terinformasi, parkir kendaraan bermotor roda empat Rp10.000; Sepeda motor, Rp5.000.
Kami memasuki lahan parkir menuju pantai. Gratis. Sebaliknya, satu sumber mengatakan bahwa beberapa pengunjung melaporkan adanya pungutan-pungutan hingga Rp30.000 (sumber).
Agaknya, pantai ini sempat menarik perhatian berkat suasana desa nelayannya yang unik, tawaran wisata memancing, pemandangan indah matahari terbenam di sore hari, dan tentu saja kuliner hasil lautnya.
Sebelum sampai pantai, saya melihat Pos TNI AL Mauk, Tangerang, Banten. Di depannnya terdapat bangunan-bangunan kayu atau bambu, yang berfungsi sebagai warung dan tempat tinggal.
Menjorok jauh ke laut, terlihat konstruksi bambu dermaga nelayan. Di tempat berbeda, meski tak sejauh dermaga, tiang-tiang bambu menyangga saung-saung yang merupakan tempat makan di atas laut. Romantis.