TANJUNG KAIT adalah tujuan perjalanan Sabtu lalu. Ke pantai di Desa Tanjung Anom, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang itu untuk mencari sampel tanah sembari wisata tipis-tipis. Siapa tahu ada pemandangan atau spot menarik.
Pukul 7.20 WIB kami bertiga naik Commuter Line dari stasiun Bogor. Tiba di stasiun Tangerang dua seperempat jam kemudian. Tak langsung ke tujuan, tapi mampir dulu ke Pasar Anyar Tangerang menyantap Laksa.
Dari tempat perdagangan itu melangkah menuju halte sejauh kurang lebih 500 meter. Terlihat angkutan umum beda warna lewat tidak menunjukkan tulisan rute. Hanya beberapa yang memakai angka.
Ada yang memakai tulisan, tapi terlalu kecil. Tidak mudah dibaca, apalagi kendaraan tersebut melesat melebihi kecepatan membaca. Tanya punya tanya, warga setempat menunjuk ke angkot putih hijau.
Syukurlah, angkutan dimaksud lewat. Pada kaca depannya melekat huruf-huruf besar, yang terbaca: Kutabumi
Kami menaikinya menuju Nagrak. Ongkos Rp10.000 per penumpang. Ganti angkot putih merah tujuan Mauk. Ongkos mungkin Rp10.000, paling banyak Rp15.000 per orang.
Selama perjalanan, dengan santun sopir menanyakan tujuan akhir kami. Katanya, setelah tiba di Tugu, Mauk agar menaiki ojeg motor. Untuk jarak sekitar 7 km, ongkos sekitar Rp 20.000 per orang, tergantung negosiasi. Ia menawarkan diri untuk mengantar, ongkos sewa Rp80.000 sampai Tanjung Kait.
Lebih murah. Ongkos angkot Nagrak-Mauk Rp45.000 (3XRp15.000). Jika naik ojeg, Rp60.000 (3XRp20.000). Total Rp105.000 untuk tiga orang.
Sopir angkot menitipkan pesan agar nanti bila ditanya pengemudi ojeg, bilang saja saudara dari sang sopir. Benar saja. Di Tugu, belum juga kendaraan berhenti, beberapa orang mengejar dan menawarkan tumpangan.
"Saudaranya sopir," saya memastikan seraya mengarahkan jari ke pengemudi.
Menjelang tujuan, sopir menunjukkan tempat angkot biasa ngetem. "Cuman mesti nunggu lama. Sekarang angkot tinggal lima atau kurang. Dulu sih banyak."
Di sepanjang jalan saya tidak melihat angkot lewat. Tidak satupun.
Angkot mengantar sampai depan gerbang masuk. Kata sopir, mobil akan dikenakan ongkos parkir jika ke dalam. Terinformasi, parkir kendaraan bermotor roda empat Rp10.000; Sepeda motor, Rp5.000.
Kami memasuki lahan parkir menuju pantai. Gratis. Sebaliknya, satu sumber mengatakan bahwa beberapa pengunjung melaporkan adanya pungutan-pungutan hingga Rp30.000 (sumber).
Agaknya, pantai ini sempat menarik perhatian berkat suasana desa nelayannya yang unik, tawaran wisata memancing, pemandangan indah matahari terbenam di sore hari, dan tentu saja kuliner hasil lautnya.
Sebelum sampai pantai, saya melihat Pos TNI AL Mauk, Tangerang, Banten. Di depannnya terdapat bangunan-bangunan kayu atau bambu, yang berfungsi sebagai warung dan tempat tinggal.
Menjorok jauh ke laut, terlihat konstruksi bambu dermaga nelayan. Di tempat berbeda, meski tak sejauh dermaga, tiang-tiang bambu menyangga saung-saung yang merupakan tempat makan di atas laut. Romantis.
Terlihat pengunjung menikmati olahan hasil laut di bangunan panggung di atas laut. Lainnya, mengawasi anak-anaknya berenang di tepi laut dan bermain di pantai yang pasirnya kehitaman, tapi tampak halus.
Sebetulnya, seksi juga suasana seperti ini. Melihat aktivitas nelayan; ngadem di bangunan bambu di atas laut; kalau sempat, menikmati keindahan sunset. Â
Namun, onggokan sampah merusak pemandangan. Ditambah, runtuhan tembok batu penahan empasan ombak yang belum dibereskan. Di mata saya, Pantai Tanjung Kait tampak kumuh.
Pada bagian lain, agak lebih ke daratan, terlihat bangunan bekas kamar bilas dan wc. Lapisan dinding mengelepus dan berjamur, dengan sudut-sudut rompal. Tak terurus. Tidak dipakai lagi.
Sepertinya, Pantai Tanjung Kait pernah ramai dikunjungi. Pernah ada beberapa tempat bilas dan WC, yang kini terbengkalai.
Sekarang masih dikunjungi. Terdapat sekian kendaraan bermotor yang parkir. Namun, terlihat jumlahnya tidak memenuhi ruang luas itu. Terlihat sepi. Mungkin masih siang, belum ramai pengunjung.
Bergerak ke desa nelayan, kehidupan lebih meriah. Terjadi jual beli hasil tangkapan laut berupa kerang kampak (simping) dan kerang bambu, dengan latar belakang perahu-perahu nelayan bersandar
Kesibukan di sisi lain terjadi, ketika para pemancing menggotong peralatan, galon air mineral, dan pelengkapan lainnya menuju perahu sewaan. Mereka akan bermalam di bagan (tempat menangkap ikan di laut) untuk memancing.
Terjawab sudah keheranan di kepala, kok tadi banyak tumpukan galon sekali pakai yang kosong di dekat permukiman? Rupanya, bekas galon tempat minum para pemancing.
Setelah melihat keseruan antara penjual dan pembeli kerang, serta kehebohan para pemancing yang hendak berangkat ke bagan, kami mengambil jalan berbeda untuk keluar dari Pantai Tanjung Kait.
Menyusuri jalan kampung, kami menemui klenteng berusia sekitar tiga abad. Namanya, Klenteng Tjo Soe Kong. Rasanya, sebelumnya melihat bangunan klenteng lebih kecil. Saya belum terinformasi tentangnya. Atau itu penglihatan semu? Hiiiyyy ...
Tiba di tempat angkot yang mestinya ngetem, pemilik warung nasi di dekatnya mengatakan bahwa angkot sudah tidak ada. Tidak beroperasi lagi berhubung semua penumpang --anak sekolah, emak-emak-- sudah punya sepeda motor.
Alternatifnya, sewa ojeg sampai ke angkot putih merah menunggu penumpang di Tugu. Seorang warga memanggil ojeg motor. Satu sepeda motor matik dan satu sepeda motor bebek lawas menghampiri. Dua? Bukankah yang mau naik tiga orang?
Ternyata di lokasi tersebut tersedia hanya dua ojeg sepeda motor. Ya sudah. Satu orang membonceng motor matik, ongkos Rp20.000. Dua orang lagi bonceng bertiga, bayar Rp35.000 untuk berdua. Lima orang (termasuk pengendara) tanpa helm menaiki dua sepeda motor!
Perjalanan pulang adalah kebalikan dari berangkatnya. Bedanya, setelah menaiki angkot putih merah, naik angkot biru muda 03 rute Pasar Anyar-Kutabumi. Turun di depan stasiun Tangerang.
Ah, kenapa tadi tidak naik angkot 03 dari depan stasiun atau Pasar Anyar? Malah, jalan ke halte cari angkot lain. Bikin capek saja!
Berkaca dari pengalaman di atas, mencapai Pantai Tanjung Kait bisa  dengan menaiki angkutan umum. Caranya begini:
- Berangkat dari Kota Hujan, naik Commuter Line (CL) dari Stasiun Bogor, transit di Stasiun Manggarai dan Duri pindah ke CL ke Stasiun Tangerang. Ongkos Bogor-Tangerang Rp8.000 per orang.
- Dari luar area stasiun naik angkot 03 warna biru muda, rute Pasar Anyar-Kutabumi. Ongkos Rp5.000 per penumpang.
- Turun di Nagrak, ganti angkot putih hijau jurusan Mauk. Tarif Rp15.000 per penumpang.
- Bisa bernegosiasi dengan sopir angkot untuk mengantar ke Tanjung Kait, tentu dengan penambahan tarif.
- Kalau tidak, berhenti di Tugu dan naik ojeg hingga gerbang masuk Tanjung Kait. Ongkos ojeg Rp20.000 per orang.
Demikian cara menuju Tanjung Kait dengan menaiki angkutan umum. Tidak Rumit. Mudah. Murah, sekitar Rp50.000 per orang sekali perjalanan. Itu kalau dari Stasiun Bogor, ya!
Kendati tidak secepat dan senyaman menggunakan kendaraan pribadi, bertualang naik angkutan umum ke Tanjung Kait penuh keseruan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI