Awalnya, tampungan hanya terletak di satu titik. Di bawah talang yang menghimpun cucuran air hujan di genteng dan tritisan (atap tambahan).
Bertambahnya wadah penampung bertambah pula titik penempatan. Kini ada di bawah tiga lokasi talang. Wadah-wadah ditutup ketika tidak turun hujan.
Air hujan tampungan digunakan untuk: menyiram tanaman yang tidak tertimpa titik-titik air dari langit; mencuci peralatan (misalnya, alat berkebun); membersihkan lantai paving block; membilas kakus, dan penggunaan air selain air minum.
Lah, kan ada air untuk segala keperluan dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)?
Misalnya, menyiram kloset tinggal pencet tombol flush maka air menyembur deras dari tangkinya. Menyiram tanaman, tinggal putar keran leding dan arahkan selang.
Lagi pula Kota Hujan tak mengenal kering. Ada cukup air untuk tanaman. Kok repot-repot banget nggotong ember isi air? Mau ngirit, bukan?
Memang hemat. Tagihan PDAM di rumah berkurang kira-kira separuhnya. Akan tetapi, menghemat pengeluaran untuk air bukan satu-satunya pertimbangan --bukan alasan penting.
Tujuan lebih penting dan sangat utama adalah menjaga kelestarian air bersih, demi ketersediannya bagi generasi mendatang. Terlalu jauh ya mikirnya? Tidak juga sih.
IPB University mengatakan, Indonesia menghadapi krisis air bersih di 2045. Kelangkaan yang dipicu oleh perubahan iklim ekstrem, pesatnya urbanisasi, kurang tepatnya pengelolaan lingkungan, dan kurang optimalnya pengelolaan sumber daya air. Termasuk kelangkaan sebab alih fungsi lahan (sumber).