Nah mumpung masih ada waktu, mampir ke pasar tradisional dekat stasiun Rangkasbitung dan terminal angkutan. Tidak masuk ke dalam pasar. Hanya mengitari luarnya.
Pada bagian dekat sisi jalan itu saya membeli bandeng dan tongkol dipindang, harga Rp7 ribu hingga Rp7.500 per ekor. Tampak alami, tidak diwarnai.Â
Di Kota Bogor, umumnya olahan semacam itu diberi warna kuning. Tidak diketahui, kunyit betulan atau pewarna buatan?
Tak jauh darinya, kios yang menarik perhatian. Terdapat gula aren berbentuk lonjong. Tidak seluruhnya terbungkus daun aren kering, maka bagian atasnya terbuka. Lima bungkus gula aren dirangkai menjadi satu lalu digantung.
Gula aren semacam ini juga dijual di pasar tradisional Kota Bogor.
Mata lebih tertarik kepada gula kawung (aren) berbentuk silinder, berukuran lebih kecil daripada yang lonjong, terbungkus penuh daun aren kering, dan dijual satuan. Jumlahnya hanya sedikit.
Warnanya lebih pekat, tidak kekuningan. Tidak sekeras gula aren lonjong. Cuilannya terasa manis. Samar-samar ada rasa gurih dan sedikit gosong. Gula aren ini menjadi pilihan untuk dibawa pulang, tentu setelah membayar Rp7.500 per satuan.
Sedang menuju stasiun, mata menghentikan langkah kaki. Serenceng kopi saset menggantung di lapak penjual kopi seduh. Katanya, kopi cap "Kupu-kupu" produk asli Lebak, terbuat dari biji kopi asli, serta memiliki rasa kuat dan nikmat. Rp20.000 serenceng, berisi 10 bungkus kecil kopi 5,5 gram.
Esok paginya di rumah, saya menyeduhnya. Tanpa gula. Enak, kopi benar-benar terasa, lebih kuat dibanding kopi lokal yang biasa saya seruput.
Lain hari, menambah sedikit gula kawung Rangkasbitung. Rasa kopi makin kaya. Gula aren mudah larut dan tidak meninggalkan sisa pada ampas kopi.
Biasanya, gula merah atau gula aren yang keras perlu dicairkan dengan air di atas kompor. Ini tidak, cukup diseduh dan diaduk dengan air panas.