Sambil menunggu Museum Multatuli buka kembali, saya berjalan kaki 400 meter. Menuju konstruksi bersejarah lainnya, yang terletak di sebelah Taman Makam Pahlawan Sirna Rana.Â
Bangunan berada di atas lahan bertembok. Syukurlah, gerbang besi tidak digembok. Takada karcis masuk, petugas, bahkan pengunjung lain.
Menaiki anak tangga dan tiba di pelataran saya menyaksikan konstruksi menara air yang berdiri tegak. "Water Leiding Toren te Rangkas Betoeng" atau dikenal sebagai Water Toren Rangkasbitung. Struktur silinder menopang toren atau tandon air segi delapan.Â
Bangunan diresmikan pada tahun 1931, untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga Rangkasbitung pada waktu itu. Tahun 1970 tidak difungsikan lagi.Â
Menurut kompas.com, bangunan direnovasi tahun 2021 dan dibuka untuk umum pada 2022 (sumber).
Betapa, bangunan tersebut memiliki struktur sangat bagus. Mampu bertahan selama 94 tahun. Hampir satu abad! Saya membayangkan, jika ia dibuat oleh kontraktor domestik zaman now, belum 10 tahun bangunan bakal ambrol.
Kunjungan ke Water Toren Rangkasbitung menambah pengetahuan tentang peristiwa masa lampau, sekaligus mengagumi contoh nyata penerapan presisi atas kaidah-kaidah ilmu konstruksi.
Museum Multatuli
Karcis masuk museum Rp2.000 per orang. Di luar dugaan, tidak sedikit pengunjung: keluarga-keluarga; anak-anak muda; rombongan open trip dari Jakarta ke Badui; dan pelancong berasal dari luar Rangkasbitung, seperti saya.