Pendopo dan gedung utama museum merupakan bangunan bekas Kawedanan Rangkasbitung. Sedangkan, Multatuli sebagai nama museum bukan tanpa alasan.
Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker (2/3/1820 -- 19/2/1887), yang dikenal dengan novel "Max Havelaar" (1860). Karya sastra ini berisi kritik atas penindasan rakyat Lebak oleh pemerintah kolonial.Â
Perannya menentang praktik kolonialisme, termasuk sistem tanam paksa di Lebak, merupakan benang merah adanya museum Multatuli.
Di halaman museum lambang anti-kolonial itu terdapat instalasi patung Multatuli, Saidjah dan Adinda. Di dalam dipajang foto-foto terkait sejarah Lebak, surat Eduard Douwes Dekker kepada Raja Willem III yang terdigitalkan, buku-buku Max Havelaar, benda bersejarah (duplikasi dan asli), dan informasi berbentuk multimedia.
Menarik. Rasanya tak lengkap, bila ke Rangkasbitung tidak mengunjungi Museum Multatuli.
Pasar Tradisional
Keluar dari museum saya menyusuri alun-alun ke arah Utara. Menuju angkot merah 04 untuk kembali ke stasiun. Jelang tujuan akhir, angkot melewati pasar.Â
Pada waktu berangkat saya sekilas memperhatikan ada penjual aneka buah, ikan, gula merah, dan sebagainya di lokasi tersebut.