Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kota yang Kehilangan Suara

19 Februari 2024   07:07 Diperbarui: 19 Februari 2024   09:02 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar warga kota kehilangan suara oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Bahkan hingga wajah langit timur berangsur-angsur memerah, suara seruan melakukan salat tidak juga menggema di seantero penjuru kota. Subuh yang sunyi.

Bukan karena listrik padam sehingga sistem pengeras suara masjid-masjid kehilangan daya.

Bukan pula sebab para penyeru azan kompak pingsan bersamaan, atau bersatu mengadakan aksi tutup mulut. Tiada satu pun orang waras pernah berpikir untuk memboikotnya. Itu satu perkara yang tidak dapat diterima oleh akal.

Suara menghilang juga dialami para ibu rumah tangga, ketika membangunkan anak-anak remajanya dari lelap. Emak-emak telah menarik urat leher, namun tiada bunyi keluar dari mulut mangap.

Gedoran pada daun pintu tidak membangkitkan. Cara lain, ayunan sapu lidi memecut tubuh meringkuk dalam selimut. Lebih parah, lemparan air dalam gayung membuyarkan mimpi basah remaja.

Erangan. Gerutuan. Apa pun jenis protes keluar tanpa suara, kendati dada remaja malang sekuat tenaga memompa.

Pagi berjalan tanpa suara manusia-manusia. Nihil suara dalam percakapan antar tetangga, pembeli dan tukang sayur keliling, tukang becak dan pelanggan, hingga transaksi jual beli di pasar tradisional.

Kota itu telah kehilangan suara manusia.

Kecuali bunyi-bunyian dari semesta: kokok ayam jelang matahari terbit, kicau burung, desir angin, riuh di hutan, dan pokoknya segala nyanyian alam.

Pun raungan mesin bakar dan letusan knalpot bisa terdengar. Jadi suara kerja mesin, denting gelas, bunyi sendok garpu beradu, dan semua ketukan mekanis masih dapat ditangkap telinga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun