Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pemandu Putih

28 Agustus 2022   20:55 Diperbarui: 28 Agustus 2022   20:57 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia (dokumen pribadi)

Bak lampu pemindai mesin fotokopi, wanita itu menjelajahi tubuhku. Dari atas ke bawah. Dari bawah ke atas. Matanya memancarkan takjub.

Aku datang setelah gagal memasuki Museum Perjuangan Bogor yang pintunya enggan membuka. Berjalan kaki lagi sejauh lima ratus meter menuju sebuah gedung lawas. 

Di halaman kanannya dua bus pariwisata beristirahat. Hanya parkir. Hari itu tiada satu pun manusia mendatangi Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia.

Pria satpam mengikuti langkah, berlari kecil memanggil seseorang yang meninggalkan konter informasi sekaligus tempat pembelian tiket. Wanita berbadan subur keluar dari pintu kayu seraya membenahi rambut. Berhenti sejenak. Ragu-ragu.

"Maaf..., ada perlu apa? Oh, atau mau berkunjung? Tiketnya dua puluh lima ribu per-orang"


Bak lampu pemindai mesin fotokopi, wanita itu menjelajahi tubuhku. Dari atas ke bawah. Dari bawah ke atas. Matanya memancarkan takjub.

Dengan canggung aku menyerahkan lembaran berwarna merah, "ada yang salah dengan penampilanku?"

"Oh tidak. Tidak. Tidak kenapa kenapa. Ada uang pas?"

"Itu yang paling kecil. Seukuran koran masih dijemur di rumah."

Wanita itu mengikik, menjepit beberapa lembaran dari sebuah dompet panjang.

Melewati pintu kaca es dengan bingkai kayu berwarna putih, aku melangkah di atas ubin kuno abu-abu tua mengkilap. Disambut oleh ribuan huruf hasil cetakan digital menempel di dinding. Aku tidak tertarik membacanya.

Akses masuk dengan pintu kaca es dengan bingkai kayu berwarna putih (dokumen pribadi)
Akses masuk dengan pintu kaca es dengan bingkai kayu berwarna putih (dokumen pribadi)

Aku rasa mata wanita penjual tiket masih melekat pada penampilanku. Berusaha membanding-bandingkan. Kecuali turis bule, baru kali ini ada pengunjung berkulit sawo matang berpakaian sekenanya. Barangkali.

Segera setelah memasuki ruangan lebih dalam, lebih remang-remang, kudengar suara pintu kayu berdentam berat. Sebuah bayangan putih berkelebat. Mendampingi langkah kaki menjejak ubin bernuansa dingin.

Aku berhenti sejenak. Ia pun berhenti. Aku melangkah, ia ikut melangkah ke mana kaki melangkah. Memasuki ruang-ruang dingin berbau kayu yang kian mistis, sosok putih itu mengikuti. Mendampingi.

Baiklah rekan. Kau aku anggap pendamping. Pemandu putih yang menemani dalam menjelajahi benda-benda masa lalu, galeri etnobotani dan keanekaragaman hayati Indonesia, batinku.

Pemandu putih setia menemani, sehingga aku tidak merasa kesepian. Ada teman bicara, meski ia tidak menjawab dengan kata-kata bahkan suara.

Aku mengabaikan keingintahuan, mengapa ia tidak bersuara seperti lainnya? Dari mana datangnya?

Semakin memasuki ke dalam, ruang-ruang berliku-liku. Satu ruangan menggambarkan laboratorium kuno dengan mikroskop, tabung reaksi, meja kursi, bahkan mesin ketik antik.

Di kamar lain terdapat lemari kaca menyimpan botol-botol berisi cairan. Keluar dari tempat itu disambut lorong dengan di kiri-kanannya terletak etalase sejarah etnobotani dan keanekaragaman hayati. Pencahayaan yang kurang terang mengesankan suasana misterius.

Lorong dengan suasana mistis (dokumen pribadi)
Lorong dengan suasana mistis (dokumen pribadi)

Tiada orang lain mengunjungi museum tersebut, kecuali aku dan pemandu putih.

Kesan mistisnya dapet, tulis pengunjung sebelumnya di tanaman kesan dan pesan.

Pemandu putih tidak pernah lepas sedikit pun dari sampingku. Sesekali sedikit berada di depan, seolah menunjukkan sesuatu yang menarik untuk diperhatikan.

Aku duduk, ia juga duduk. Sebentar bersimpuh di lantai dingin, lalu melompat di sampingku. Pemandu putih ngedusel-dusel atau menggesek-gesekkan tubuhnya ke badanku.

Terlintas keinginan purba untuk memberi sentuhan. Aku mengelus kepalanya. Ia tampak senang. Tambah manja. Duduk di pangkuanku. Aku menjelajahi tubuh mulusnya. Putih. Halus. 

Pemandu putih yang mendampingi (dokumen pribadi)
Pemandu putih yang mendampingi (dokumen pribadi)

Aku semakin senang mengelus-elus bulunya yang bersih. Cukup. Rasa penat telah lenyap. 

Ruangan terakhir aku jelajahi. Hari ini bertambah wawasan dengan mengunjungi museum etnobotani dan keanekaragaman hayati tersebut. 

Diikuti pemandu putih aku akhirnya tiba pada ujung "petualangan" ke masa lalu. Menemui lagi pintu kaca es dengan bingkai kayu berwarna putih.

Wanita penjual tiket tersenyum ramah menunggu, "sudah selesai?"

Aku mengangguk sekalian mengarahkan telunjuk ke pemandu putih.

"Lucu. Peliharaan siapa?"

"Apa? Siapa?"

Wajah wanita penjual tiket menampakkan keheranan. Ia memandang ruang kosong dengan ribuan huruf hasil cetakan digital menempel pada dindingnya.

"Ergh..., itu ku.... Ah, sudahlah!"

Bayang-bayang pemandu putih sepertinya masih duduk di ubin kuno abu-abu tua mengkilap. Tersenyum kepadaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun