Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ini Tempat Strategis untuk Mencari Penghasilan

24 Mei 2022   08:28 Diperbarui: 24 Mei 2022   08:36 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penjual bubur ayam yang pindah ke tepi jalan raya (dokumen pribadi)

Gerobak bubur ayam beralih-tempat dari halaman masjid kompleks ke tepi jalan raya. Tidak jauh, namun potensi penjualan lebih menjanjikan.

"Di sini jam sepuluh-an sudah habis. Apalagi pada hari Sabtu Minggu."

Memang biasanya bubur ayam tersebut baru habis setelah Zuhur di tempat semula. Sepi pembeli.

Jalan sepanjang kurang lebih satu kilometer dan selebar sembilan meter itu memang teduh. Memiliki jalur hijau dengan tanaman manggis, pala, dan pohon peneduh.

Sebagian besar panjang jalan diapit oleh kantor-kantor Balai Penelitian milik Kementerian Pertanian dan sedikit rumah/kantor berhalaman luas, kecuali pada ujung jalan arah Utara. Masuk ke bagian timur terdapat perumahan pegawai, di mana keluarga saya tinggal. Lebih ke dalam lagi mendekati bantaran sungai terdapat perkampungan.


Memasuki Jalan Tentara Pelajar ( dahulu dikenal sebagai Jalan Cimanggu), Kota Bogor, adalah menyusuri kesejukan.

Pada tahun 1980-an wilayah tersebut masih sepi. Belum selebar sekarang. Terkenal dengan delman (kereta kayu beroda dua yang ditarik satu kuda), sehingga teman-teman SMA memelesetkannya sebagai Chicago.

Keadaan berubah. Kini tidak tampak delman berseliweran, kecuali pada akhir pekan. Kendaraan lawas itu menjadi angkutan wisatawan di pusat kota.

Pada hari kerja sekitar pukul delapan pagi 50-60 kendaraan berbagai rupa (sepeda motor, mobil, dan truk) melintas di jalur kiri-kanan. Fungsi menghubungkan penghuni sekian perumahan dan klaster dengan pusat kegiatan di kota, membuat jalan itu ramai dilintasi kaum komuter.

Mungkin sedikit berkurang ketika matahari meninggi. Kembali ramai lagi di sore hari atau pada jam-jam sibuk.

Banyaknya orang melintas dan lahan lebar serta lingkungan sejuk merupakan syarat ideal untuk berjualan.

Di atas jalur hijau dan tepi jalan terdapat beberapa penjual aneka barang dan makanan. Dari lampu pengatur lalu lintas menuju utara ada:

  • Gerobak penjual rujak ulek dan asinan.
  • Penjual ikan cupang dan ikan hias lainnya.
  • Lapak buah pepaya matang.
  • Mobil yang memajang pakaian (setelan) anak.
  • Minibus tempat menjual celana pendek.
  • Kaos kaki seribu tiga yang digelar di atas jalur hijau.
  • Pedagang nanas madu, jambu biji, semangka, dan buah musiman (duku Palembang, jeruk impor, mangga).
  • Duren di atas bak mobil pick-up.
  • Bubur ayam, minuman dingin dan kopi seduh.
  • Penjual masker dan, kadang, sandal kulit sampai baju dewasa.

Lapak kaos kaki seribu tiga (dokumen pribadi)
Lapak kaos kaki seribu tiga (dokumen pribadi)

Posisi para pedagang itu berjauhan, sehingga kesan kumuh tidak tampak. Lawan utamanya adalah hujan. Juga petugas ketertiban kota, kendati sekarang mereka sangat jarang muncul di lokasi tersebut.

Menjual celana pendek di mobil (dokumen pribadi)
Menjual celana pendek di mobil (dokumen pribadi)

Izin berjualan secara khusus tidak ada. Mereka yang akan berjualan meminta permisi kepada pedagang sekitar yang lebih dahulu ada. Atau bisa minta perkenan dan pemberitahuan kepada satpam kantor. Lahan tersebut berada di depan lahan kantor yang memanjang.

Tidak ada biaya sewa. Pun biaya preman yang memungut uang demi "kebersihan" dan "keamanan" lingkungan. Tidak ada. Entah bila kelak menjadi semakin rapat dan melibatkan perputaran uang yang menggiurkan.

Seorang pengendara motor berhenti. Bertanya kepada pedagang ikan, kepada siapa harus minta izin dan membayar "biaya" lapak? Ia bermaksud menjual nangka matang yang sudah dikupas.

Penjual ikan cupang dan ikan kecil (dokumen pribadi)
Penjual ikan cupang dan ikan kecil (dokumen pribadi)

Pedagang ikan memastikan, selama ini tidak perlu membayar apa-apa kepada siapa pun. Asalkan permisi atau minta perkenan kepada pedagang yang lebih lama. Juga menjaga kebersihan tempat.

Saya menginterpretasikan mereka sebagai pekerja (pengusaha) informal, sesuai dengan batasan-batasan yang disebutkan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (sumber).

Mereka bekerja atau berusaha sendiri mencari penghasilan halal. Tidak memperoleh upah selain dari selisih bersih hasil penjualan dikurangi modal. Pekerjaan yang merupakan satu cara untuk mendapatkan penghasilan, apa pun motivasi yang mendorongnya menjadi pengusaha pinggir jalan.

Para pedagang tersebut memiliki ciri khas pekerja (pengusaha) sektor informal:

  1. Tidak terorganisir dalam sebuah institusi.
  2. Tidak mempunyai bentuk teratur.
  3. Tidak memiliki izin resmi (terdaftar), kontrak, pola rekrutmen, dan aturan-aturan mengikat, seperti lazimnya pekerjaan/usaha formal.
  4. Skala usaha sangat kecil.
  5. Modal terbatas dan rendah aksesibilitas ke lembaga keuangan/perbankan.

Namun jangan salah, tepi jalan tersebut tidak hanya menjadi lapak bagi pengusaha (pekerja) informal.

Perusahaan formal melalui armadanya juga ikut "nongkrong" menunggu calon pembeli atau klien di bawah rindangnya pepohonan. Umpamanya, mobil dari provider sambungan internet. Perusahaan kuliner waralaba internasional juga turut melebarkan jaringan penjualan di pinggir jalan ramai tersebut.

Tidak perlu membayar sewa kepada siapapun, asalkan saling rukun, menjaga adab kebersihan, dan merawat hubungan sosial yang baik dengan sesama pedagang. Tidak perlu izin usaha resmi. Bisa langsung berusaha dengan modal relatif kecil.

Lawannya adalah hujan dan petugas ketertiban. Juga apabila muncul para pemalas yang memalak biaya kebersihan dan keamanan, dengan ungkapan bernada provokatif.

Di sisi lain, mungkin para pedagang itu tidak cukup mendapat perhatian dan perlindungan dari pemerintah serta tokoh masyarakat. Kecuali menjelang pemilihan umum.

Singkat cerita, jalan kolektor teduh yang lumayan ramai dengan pelintas itu, menjadi lahan strategis dan lapak untuk mengais penghasilan dengan berjualan. Dan, tentu saja, bagi mereka yang mau berusaha mencari pendapatan halal dan jauh dari kata mengeluh.

Apa pun ceritanya, para pengusaha (pekerja) yang membuka lapak di pinggir jalan itu, sedikit banyak, berperan dalam menciptakan lapangan usaha. Tanpa disadari, mereka telah mengurangi angka pengangguran.

Benarkah demikian? Hanya para ahli, cerdik cendekia, dan pihak berkepentingan di atas sana yang mampu menjawabnya. Apalah artinya saya. Heuheuhe...

Rujukan: 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun