Adalah upaya pelik super sulit, menghapus ketergantungan rakyat sebuah negara untuk tidak pernah tidak memeluk amplop, kertas persegi tipis berwarna putih atau cokelat.
Dua puluh empat jam sehari. Tujuh hari sepekan. Lima puluh dua minggu dalam setahun menggenggam amplop. Sampai tiba saat untuk menyerahkannya ke tangan orang lain.
Negara Amplop terletak jauh di zona antah berantah. Jauh banget dari Indonesia. Penduduknya berjibun menempati wilayah dikelilingi laut. Dipimpin oleh sebuah organisasi pemerintahan berdaulat dan memiliki kepentingan nasional.
Di dalamnya terdapat satu kebijakan tertinggi, yaitu memenuhi hajat hidup mayoritas rakyatnya terhadap konsumsi amplop.
Diketahui, warganya merupakan konsumen amplop terbesar di seantero jagat, sesuai dengan namanya: Negara Amplop.
Bayangkan. Seluruh sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara diisi oleh amplop di mana-mana. Baik berwarna putih maupun coklat dengan berbagai ukuran. Kebanyakan disuplai dari negara-negara lain.
Berita baiknya, bahagian terbesar daripadanya diimpor dari Indonesia. Syukurlah.
Pihak otoritas, diwakili Menteri Urusan Dagang bersama Menteri Urusan Bikin Amplop bersepakat, cadangan amplop aman harus dipenuhi.
Rumusnya: Persediaan Amplop Nasional = Konsumsi Setahun + Cadangan Setahun.
Industri amplop lokal hanya mampu memenuhi tiga perempat dari jumlah konsumsi setahun.
Tidak usah kita bicara tentang ketidak-efisien-an pabrik lokal; buruknya tata-kelola distribusi amplop; permainan harga bahan baku oleh pedagang besar; atau persekongkolan para menteri dalam upaya melanggengkan impor amplop yang tidak berkesudahan.