Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mitos Burung Kedasih

27 Juni 2021   06:00 Diperbarui: 27 Juni 2021   06:47 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi burung oleh DesignerTalk dari pixabay.com

"Jangan lewat situ?" Jemari lentik menyergap lenganku.

"Kenapa?"

"Aku takut ...," tanganmu mencengkeram kian erat.

Akhirnya dipilih jalan melingkar, menghindari lintasan di depan sebuah rumah tua. Pekarangan luas dengan rumput tak terurus dan rimbunnya daun pepohonan, membawa udara dingin.

Pohon kamboja menyebarkan hawa mistis. Guguran bunga-bunganya yang berwarna putih membawa aroma duka.

Pada malam berbeda, kamu membenamkan wajah pucat ke dada bidangku. Degup-degup jantung disertai napas memburu terangkum dalam pelukan hangatku.

"Itu! Itu anjing melolong, memberitakan roh kematian sedang melayang menuju keabadian."

"Tidak usah risau. Belum tentu pertanda adanya malapetaka. Lumrah kok, ketika anjing merintih, menggonggong, dan melolong. Tenanglah!"

"Aku takut ...."

"Ssttt ...!"

Kamu demikian percaya tentang tanda-tanda sebelum ajal tiba, menghampiri kerabat atau orang terdekat di sekitar kita.

Lingkungan kecilmu telah membentuk kepercayaan terhadap takhayul. Sedangkan aku dibesarkan dalam keluarga yang meyakini rasionalitas, semua hal dapat dijelaskan dengan akal.

Namun aku tidak akan memaksamu untuk mengikuti cara berpikir logis. Saat ini aku berkompromi dengan nalar irasional yang engkau percayai. Satu-satunya alasan adalah: aku tidak ingin kehilanganmu.

Sampai detik ini kita --aku bersama kamu-- sedang berjuang, mengayuh biduk ringkih melalui gelombang kehidupan dalam satu pikiran. Bahagia merupakan pencapaian.

Pada sebuah malam paling membara, tiba-tiba engkau medekap kuat. Debar-debar pada dadamu menyatukan peluh kita.

 "Aku takut ...."

Dengan lembut aku mengecup dahi, membelai rambut halus, dan menghangatkan gigil tubuhmu.

"Aku takut. Aku mendengar suara burung kedasih. Kamu?"

Ya, aku tahu. Burung emprit itu dipercaya sebagai burung pembawa maut. Kicau monoton burung bermata merah dianggap pertanda datangnya kematian orang dekat kita.

Aku mengusap rambut dan memeluk tubuh membawakan tenang kepada gelisahmu. Jauh setelah malam, barulah terasa napas teratur mendengkur seperti kucing.

Keesokan hari dan hari-hari berikutnya tidak ada kerabat yang mangkat. Hanya ada pengumuman melalui pengeras suara di masjid kejauhan, memberitakan kematian seseorang yang tidak kita kenal.

"Nah kan, bener," tuturmu.

"Sayang, kita tidak mengenalnya. Kita doakan saja."

"Tapi ...."

Sesungguhnya, malaikat maut menjemput ruh manusia dalam waktu-waktu yang kita tidak pernah tahu. Sebagai batas hidup yang telah ditetapkan, kematian merupakan hal lumrah.

Setiap saat ada saja insan manusia menemui ajal. Pertanda ketiadaan, suara nyanyian kedasih pada malam hari merupakan rutinitas alami burung.

Natural. Aku sama sekali tidak percaya takhayul yang menghubungkan suara burung kedasih dengan kematian manusia.

Bunga-bunga kamboja, lolong anjing di malam hari, dan nyanyian burung kedasih adalah mitos.

Aku percaya, penjelasan tersebut tidak mudah masuk ke dalam nalarmu. Tapi setidaknya untuk jangka waktu sekian lama, kamu berusaha mengurangi ketakutan terhadap pohon kamboja, lolong anjing, dan nyanyian burung kedasih. Aku pun selalu ada menemanimu, manakala engkau merasa takut, atau ketika merajuk.

Sekarang engkau jauh lebih tenang. Ketakutan-ketakutan yang meliputi telah menghilang. Terbang bersama angan.

Menghela napas, aku menengadah. Awan kelabu berarak-arakan, mengiringi langit merah hendak bersua bintang-bintang dan rembulan dalam kelam.

Angin dingin bertiup. Mendung menitikkan air. Gigil bibir getarkan perih, "sayang, aku harus pulang."

Telingaku berdiri, menangkap suara-suara berarak-arakan menggurat ingatan. Membawa kematian. Bunga-bunga kamboja berwarna putih berguguran pada tanah merah basah.

Senja kian tua. Lengking sirene menghampiri silih berganti. Tanpa jeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun