"Masak kalah sama cewek? Hayo, Rudolfo, kamu pasti bisa!.
Dalam periode berikutnya, Rudolfo juara kelas. Para siswa gembira gegap-gempita. Pada masa selanjutnya, siswi tercerdas itu menggeser posisi siswa terpandai. Demikian seterusnya. Peringkat satu dan dua bergantian dipegang Vinny dan Rudolfo.
Persaingan kian keras. Saat Vinny berada di papan atas, perundungan pun kian tegas. Tidak tahan, suatu saat Vinny memuntahkan kekesalan di depan teman sekelas.
"Kenapa sih, sepertinya, aku dianggap tidak layak merepresentasikan keunggulan dibanding pria?"
Perempuan geulis dengan rambut bergelombang lembut meledakkan sejuta bintang dari matanya. Rudolfo menganga terpesona, desir halus menggeliat di dada.
"Rupa-rupanya masih ada kondisi tidak setara antara perempuan dengan pria, yang merupakan efek sosial dari perbedaan kelamin."
Wajah-wajah terperangah
"Sudah waktunya menakzimkan partisipasi, representasi, dan akuntabilitas kaum perempuan, agar semangat yang ditularkan oleh R.A. Kartini tidak menjadi retorika artifisial, kemudian menjadi sia-sia."
Semua murid di dalam kelas menunduk. Diam.
"Sebaiknya kita akhiri persaingan ini. Bukankah begitu, Rudolfo?"
Sekejap Rudolfo gelagapan, tapi kemudian ia melemparkan senyum paling tulus, paling manis kepada Vinny.