Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seorang Pria yang Kehilangan Selera

30 Maret 2021   07:07 Diperbarui: 30 Maret 2021   07:14 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto mobil adalah dokumen pribadi, diambil dari laman FB Budi Susilo

Pria berusia matang itu kehilangan selera. Ia tidak mampu mengingat dan merasakan apa-apa, apakah seleranya terjatuh atau dicopet. Ia benar-benar kehilangan rasa dan selera.

Bukan tertular virus korona, karena gejala-gejala yang menyertai ketika seseorang diduga terjangkit Covid-19, seperti suhu badan tinggi, sesak nafas, dan perubahan fisiologis lain, tidak muncul.

Pun tiada hal-hal dapat menggugahnya agar bergairah menyantap hidangan luar biasa yang tersedia pada meja makan.

Di mana di atasnya terletak wadah kaca berisi kuah hitam dengan uap mumbul-mumbul, terdiri dari potongan daging sapi berlemak, berbumbu kluwek digerus bersama segala rempah, yang ditemani toge pendek baru dicuci, sambal terasi, dan kerupuk udang.

Untuk makanan pembuka, dibuatkan mi glosor ber-topping suwiran daging ayam beserta saus kacang dan tempe goreng berselimut tepung.

Sedangkan untuk makanan penutup, istrinya --yang selama sekian tahun bertambah subur, sementara tubuh pria yang kehilangan selera itu kian susut-- meracik es podeng kegemarannya. Itu pun belum terhitung buah apel, pir, jeruk impor, dan semangka.

Tiada lagi yang dapat menggugah nafsu makannya pada malam yang seharusnya berbahagia itu.

Lha wong seleranya sudah hilang.

Ia pun tidak merasakan bahwa istrinya semakin cerewet, berkata-kata bak memberondongkan mitraliur. Ah, itu metafora usang di dalam bertutur gaya lama. Lebih tepat: seperti meluncurkan percakapan tanpa tanda baca pada sekian belas grup WA.

"Sudah lapor polisi?"

"Aaa ..."

"Apa kata mereka?"

"Aaa ..."

"Bagaimana tindakan mereka? Langsung dicari kah? Berapa peleton yang dikerahkan demi mengusutnya?"

Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.

Sekarang mengerti kan, demikian banyak tanya diluncurkan, sehingga wanita itu lupa membubuhkan koma, tanda tanya, dan titik pada pertanyaan-pertanyaan. Namun karena harus memenuhi kaidah berbahasa yang benar, maka tanda baca akhirnya dituliskan seperlunya di dalam kisah ini.

Pria itu sejak mengetahui --bukan merasa-- telah kehilangan selera segera melapor ke kantor polisi terdekat. Petugas yang ramah langsung mengetuk papan kunci komputer jinjing dan mengetik dengan cekatan.

Sekian banyak pertanyaan disampaikan tanpa melihat wajah pria yang kehilangan selera itu, sampai kepada jawaban mengejutkan atas sebuah pertanyaan.

Lalu ia menegaskan, "Bapak bukan kehilangan dompet, telepon genggam, atau tas berisi uang berada di dalam mobil yang kacanya dipecahkan?"

"Tidak. Tidak, bukan seperti itu."

"Jadi betul, Bapak kehilangan selera?"

"Iya Pak, demikianlah adanya."

Takambil pusing, petugas tersebut melanjutkan mengetik, semakin lama semakin cepat tanpa tanya, sembari menahan tawa sampai kertas laporan dicetak.

Sambil berjalan menuju parkiran, pria yang kehilangan selera itu mendengar suara cekikikan petugas tersebut, yang dengan cekikikan pula bercerita kepada temannya. Lalu dengan cekikikan teman petugas itu bercerita lagi kepada teman-temannya. Lantas teman-teman dari teman petugas itu cekikikan beramai-ramai.

Gema koor cekikikan dari satu kantor polisi terdengar gegap-gempita, kendati pria yang kehilangan selera itu telah meninggalkan halaman parkir. Tapi pria itu sama sekali tidak merasa rendah diri atau terhina.

Lha wong seleranya sudah hilang.

Ia juga takhendak melaporkan kasusnya kepada kantor polisi lainnya. Ia meyakini, bahwa dalam waktu sesingkat-singkatnya berita tentang seorang pria yang kehilangan selera telah menyebar ke seluruh jawatan kepolisian di kota ini.

Bisa jadi juga berita itu sudah sampai ke telinga wartawan yang dengan cepat menyergap berita janggal dan memuatnya ke dalam menu utama. Kemudian berita tentang pria yang kehilangan selera demikian cepat menjadi viral di linimasa.

Tapi sekali lagi, ia tidak merasakan sesuatu apapun yang dapat mengganggunya, sampai tiba di rumah dalam keadaan bugar tanpa rasa lelah sedikit pun jua.

Lha wong seleranya sudah hilang.

Meskipun segala rasa kepada segala-galanya telah lenyap, namun pria yang kehilangan selera itu masih bisa mengingat segalanya dengan jelas dan terinci, mengenai peristiwa yang telah dilaluinya dari semenjak sore pulang kantor sampai dengan malam tadi.

Tepat ketika langit bercahaya jingga kemerahan -- manakala matahari yang sudah lelah, setelah seharian menyiramkan teriknya kepada bumi dan hendak merebahkan diri di balik gunung berselimut kelam, berlatarbelakang hamparan sawah terbelah jalan, di mana di sisinya ada sebuah rumah, sepi tersendiri di bawah sebuah pohon-- pria itu tidak langsung pulang.

Pria yang saat itu belum kehilangan selera mengendarai mobil menuju bengkel, dan pada sepanjang perjalanan ia bisa merasakan keindahan alam jingga kemerahan, kenangan masa kecil, dan kerinduan tentang rasa cinta.

Ia mesti ke bengkel, karena merasakan performa mobil hitam dengan kaca film hitam kesayangannya sudah mengendur. Mobil keluaran tahun 90-an itu model lama, yang masih menggunakan sistem pengabutan bahan bakar dan pengapian konvensional.

Oleh karena itu, bengkel yang dituju adalah satu-satunya tempat yang bersedia menerima perbaikan mobilnya. Manakah mau bengkel moderen menerima mobil tua?

Bengkel merangkap tempat tinggal montir akan menerima dengan senang hati pukul berapa pun pria itu datang. Montir sudah hafal kebiasaan pria tersebut.

"Ini persoalan mudah, disetel sebentar pasti mobil sehat kembali. Sejam-lah," ujar montir, menyeringai.

"Baiklah, aku menunggu di tempat biasa," senyum pria itu meninggalkan bengkel, menuju sebuah rumah di dalam gang.

Rumah kecil yang sederhana, namun asri di mana pada halaman yang mungil ditanami bunga melati, mawar, dan tumbuhan keladi-keladian. Dindingnya berwarna jingga kemerahan dengan kusen, bingkai jendela kaca, dan daun pintu sewarna kayu meranti alami.

Daun pintu terbuka lebar dan segera ditutup setelah pria itu masuk. Kunci diputar, gorden digeser sehingga menutup sempurna jendela kaca dari pandangan luar. Waktu Maghrib sudah menjelang.

"Pasti belum makan! Aku sudah siapkan hidangan makan malam."

Pada atas meja makan dengan dua kursi plastik terhampar sebakul nasi hangat, tempe goreng, perkedel, ikan gabus asin goreng, lalap daun muda, dan sambal.

Pria itu menghirup aroma merangsang dari sambal hijau kehitaman di dalam cobek kayu, "Hmmm ...."

"Aku buat khusus, terdiri dari cabai rawit hijau yang sudah digoreng, irisan bawang merah goreng, dan terasi paling istimewa."

"Sepertinya terasa lezat."

Pria itu langsung menyantap makanan yang disajikan. Lahap, sebagai orang belum pernah makan enak. Pria yang pada saat itu belum kehilangan selera makan dengan sangat lahap menyantap nasi hingga berkeringat. Lahap dan enak menyatu pada malam itu.

Kekenyangan, tetapi semua hal dirasakan indah, sampai dengan sebuah bisikan lembut berdesir di telinganya, "Mas, aku telat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun