Kuda tanpa kepala dengan penunggang berpedang panjang berkilau ditimpa purnama adalah kabut misteri yang tidak pernah terungkap. Warga terlalu takut untuk mengungkapkan, terlalu takut untuk melawannya.
Cerita kuda tanpa kepala masih melekat di dalam ingatan, bahkan sampai aku mulai beranjak dewasa.
Aku sebenarnya tidak yakin mereka ada. Bisa jadi cara kakek untuk membuatku tidak keluar rumah dan tidur cepat, waktu itu.
Belakangan cerita itu meluntur, mengikuti kakek ke dalam kubur.
Namun tetap saja aku berusaha mengendap-endap, melalui lorong paling gelap, pada setiap malam ketika semua orang telah memeluk guling.
Demikian agar aku menghindari bertemu kuda tanpa kepala dengan penunggang berpedang panjang berkilau ditimpa purnama.
Diperkirakan, pasukan berkuda itu tidak akan melalui lorong sempit tanpa cahaya. Jalur seperti itulah yang aku pilih untuk pulang.
Namun sekali ini aku terlalu terburu-buru ingin segera merasakan udara hangat di bawah selimut. Aku terlanjur menapaki jalan mulus yang lebar dan basah.Â
Menyadari kealpaan itu, aku segera berjalan cepat, setengah berlari supaya sampai mulut lorong gelap yang sempit.
Ada rasa enggan, atau takut, bertemu dengan kuda tanpa kepala di mana di punggungnya duduk penunggang berpedang panjang berkilau ditimpa purnama.
Aku berusaha menguatkan hati, bahwa itu rekaan belaka. Cerita pengantar tidur. Semakin menyusuri jalan berlampu merkuri itu, semakin tumbuh keyakinan.