Dengan kata lain, ODHA yang tidak teridentifikasi jauh lebih banyak dibanding mereka yang terlapor atau tercatat. Jumlah besar dan tidak terungkap jelas itu sangat berpotensi menyebarkan virus HIV secara diam-diam.
Jumlah dalam laporan di atas adalah penderita yang dicatat atau diketahui secara medis yang kemudian "dipantau" ketat oleh otoritas.
Sementara ODHA yang berada di dalam kehidupan sehari-hari bersama orang lain dengan potensi menularkan virus HIV sulit diidentifikasi, dan jumlahnya melebihi dari yang sudah tercatat resmi.
Patut diduga, jumlah penderita yang tidak teridentifikasi sangatlah besar dan menyebarkan virus tanpa diketahui.
Lantas apakah mesti ada stigma atau "pengasingan" terhadap ODHA untuk mengatasi penyebaran HIV/AIDS?
Kembali ke pelatihan. Pada penutupan pelatihan, seluruh peserta bersalaman --bahkan sebagian berpelukan-- dengan instruktur dan fasilitator yang merupakan eks-penghuni rumah rehabilitasi narkoba. Berjabatan dan berpelukan selayaknya sahabat lama.
Setelah itu, instruktur menerangkan bahwa sebagian fasilitator adalah ODHA atau orang yang telah terinfeksi HIV/AIDS. Malahan, beberapa orang sudah dapat diprediksi kematiannya.
Dari pengalaman menggetarkan tersebut, peserta yang merupakan "orang normal" mengetahui bahwa penularan atau penyebaran penyakit HIV adalah karena ada pertukaran cairan tubuh, bukan karena sentuhan
Virus tersebut umumnya ditularkan melalui persinggungan dengan darah dan cairan yang dihasilkan alat reproduksi orang yang telah terinfeksi.
Oleh karenanya, potensi penyebarannya bisa melalui: hubungan seksual dengan ODHA tanpa pengaman; penggunaan jarum suntik yang tidak steril; ibu terpapar kepada bayi dikandungnya atau menyusui; dan sebagainya.
Stigmatisasi atau pengasingan terhadap ODHA akan semakin membenamkan informasi terhadap berkembangnya penyakit ini. Dengan sosialisasi yang tepat mengenai ODHA diharapkan semakin banyak orang tidak menyembunyikan penderitaannya.