Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Undangan Merah Jambu

7 Oktober 2019   08:01 Diperbarui: 7 Oktober 2019   08:18 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumen pribadi: budi susilo

Ketika tengah menyantap angin, kuterima sebuah surat undangan kembang-kembang warna merah muda yang membuat benakku terhempas ke masa silam. Waktu yang disesaki puspa bernuansa merah pastel.

Aku tertarik dengan ketawamu yang lepas, kemudian memutar otak bagaimana cara berkenalan dengan wajah manismu. Berkenalan bukan karena tidak mahfum nama satu sama lain. Kita satu kantor kok! Aku ingin mendekatimu secara spesial. 

Ada pusaran energi menghisap ketika kita terpingkal bersama. Aku ingin menawan keriuhan itu di rekahan hati agar tidak ada lagi yang bisa mengambilnya. Untuk pertamakalinya aku jatuh cinta pada kilau memenjara di balik kacamata.

Kacamata yang harus kubuka supaya bisa melihat keelokan wajahmu. Memesona jika alat bantu lihat jarak jauh tak bertengger lagi di pangkal hidung yang mancung itu. Engkau menyirap seperti mau menyinga, sejurus kemudian tersimpul senyum yang membuat hatiku terseret ombak. 

Barangkali yang membuatmu menyerah, lantas jatuh suka, ketika aku menjadi pahlawan pertama bereaksi dengan berlari pesat mencarikan obat pereda sakit gigi yang menyiksamu setelah makan di warung sate kambing.

Setelahnya hari-hari penuh bunga --sayang aku tak mahir berpuisi untuk melukisnya-- kita jalani berdua saja. Teman-teman kantor menyingkir diam-diam merestui. Berdesakan di bus kota untuk nonton film di bioskop sekitar alun-alun. 

Naik angkot untuk makan di pinggir jalan Lodaya. Bahkan kita berdua pernah berjalan kaki dari Simpang Lima ke rumahmu, mereguk semarak kahyangan yang tidak habis-habis.

Bukan berarti taman bunga tak beronak-duri!

Hatiku terbakar ketika mengetahui nasabah ganteng sialan itu merayu hingga membuat wajahmu memerah tersipu. Di kantor pun tertulis aturan, bahwa antar pegawai tidak dibolehkan menjalin hubungan asmara. Sebab itu aku menerima tawaran bekerja di ibu kota, kita tidak bisa bersama setiap hari. Waktu-waktu libur merupakan kesempatan untuk saling meleburkan rindu.

Ada saatnya orangtuamu tidak senang dengan hubungan kita. Mereka hendak menjodohkanmu dengan si pebalap go-cart putra sahabat Mamahmu. Maka kita sembunyi-sembunyi memadu kasih dalam kesempatan jarang. 

Kendati berbohong demi sebuah rendezvous, aku menyarankan agar menghormati orang tuamu. Dengan karir membubung, kelak mereka bersedia menerimaku sebagai menantu.

Pekerjaan yang baru sedemikian menyibukkan sehingga hari Sabtu atau Minggu kadang membuatku masuk. Semakin kemari semakin kerap sebagaimana tanggung-jawabku yang kian membebani. Waktu untuk melabuhkan gelombang rindu jadi berkurang.

Maaf, jika aku terlalu sering menggantungkan keinginan untuk menghalalkan sentuhan. Semakin lama pekerjaan memburu seperti anjing geladak, mendesingkan peluru-peluru melesat ke batok kepala. Untunglah, kemayu staf klienku cukup menghibur. 

Kadang menemani makan siang di kafetaria dekat kantornya. Kadang makan malam membuaikan sampai kami melakukan perhubungan terkutuk. Disini teramatlah mudah menemukan teman berbagi cinta dalam sekejap.

Kesenangan semu pada akhirnya memporak-porandakan hubungan. Hantaman kejiwaan secara beruntun telah memaksamu memohon untuk berpisah denganku selamanya. 

Lama setelah sering bercerita kepada malam, baru aku mengerti segala kekeliruan. Kuakui bahwa aku telah melompati batas janji suci kita dan lebih mementingkan ketamakan keinginan dibanding memelihara ikatan bersumpah.

Aku bagai singa kalah.

Terserahlah pandangan sekalian kerabatmu. Minggu depan aku akan datang. Bertekad pada diriku untuk memenuhi undangan merah jambu demi Putri. Ia belum bisa seutuhnya menerima pria itu. Tidak ada satupun lelaki di bumi ini yang mampu menggantikan.

Aku datang khusus untuk mendampingi Putri Anindya --gadis berusia 10 tahun hasil buah cinta sebelum rumah tangga kita porak-poranda-- sebagai ayah kandung yang sungguh amat dicintainya.

Semoga engkau berbahagia dengan pendamping barumu.....

~~ Selesai ~~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun