Mohon tunggu...
budi prakoso
budi prakoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - mari jaga kesehatan

seorang yang gemar berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mendorong Semangat Cinta Kasih di Tahun Politik

12 Desember 2018   07:49 Diperbarui: 12 Desember 2018   08:09 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Damai - by Fadjar


Indonesia memang berkembang menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Namun para pendiri negeri ini tidak mau menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Para pendidi bangsa ingin Indonesia menjadi negara beragama. Negara yang mau mengakui banyak agama. Karena itulah sila pertama Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Sila ini juga memberikan jaminan kepada seluruh warga negara Indonesia, untuk memeluk agama berdasarkan keyakinannya masing-masing. Dan jaminan ini pun diatur dalam undang-undang. Agama merupakan hak privasi setiap manusia, yang hubungannya antara manusia itu sendiri dengan Tuhan. 

Dan sudah semestinya, persoalan agama berada di wilayah netral. Karena agama pada dasarnya berfungsi sebagai tuntunan, agar para pemeluknya tidak berada di jalan yang salah.

Dalam perkembangannya, memasuki tahun politik seperti sekarang ini, persoalan agama seringkali juga dibawa ke ranah politik. Tidak sedikit orang digiring untuk memilih pasangan tertentu, hanya karena persoalan agama. Pemimpin yang berbeda dengan agama mayoritas dianggap pemimpin kafir. Partai yang mencalonkan pemimpin yang non muslim, dianggap partai kafir. 

Orang atau kelompok yang berbeda, seringkali selalu dihadapkan pada istilah kafir, sesat, tidak Islami dan lain sebagainya. Karena tuduhan kafir dan sesat itu, kemudian publik diarahkan untuk saling membenci atupun persekusi. Dalam konteks politik, publik diarahkan untuk tidak memilih orang-orang yang dianggap kafir dan sesat tadi.

Dan ironisnya, tidak sedikit para tokoh agama, tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi penyejuk dan penyebar pesan damai, juga ikut tergoda dalam 'permainan' ini. Gerakan ulama dalam 212, 411 dan mungkin nanti akan ada lagi yang lainnya, seakan memanfaatkan panasnya politik untuk mendapatkan panggung.

Disisi lain, informasi bohong (hoaks) dan ujaran kebencian terus bermunculan di media sosial. Akibat dari semua ini, masyarakat awam jadi mudah terprovokasi. Masyarakat awam tidak lagi bisa mendapatkan informasi yang benar. Karena semua pihak masuk dalam permainan politik.

Mari kita contoh Gus Mus, yang selalu memberikan keteduhan kepada siapa saja. Mari kita contoh Cak Nun yang selalu memberikan inspirasi kepada siapa saja. 

Jika memang sudah dianggap sebagai ulama, tokoh masyarakat, pemimpin, atau orang yang dipercaya mendapatkan amanah, bertutur dan bersikaplah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Banyak contoh positif yang telah diberikan yang bisa kita implementasikan dalam kehidupan nyata di tahun politik ini.

Ingat, tahun politik pada dasarnya bertujuan untuk mencari pemimpin yang amanah, yang bertanggungjawab dan bisa membawa Indonesia menuju kabaikan. Karena itulah, proses untuk mendapatkan pemimpin yang amanah ini, jangan dikotori dengan semangat kebencian dan hoax. 

Sebaliknya, tebarkanlah nilai-nilai agama dan kearifan lokal yang memang merupakan budaya kita. Rangkullah semua keberagaman yang ada, agar pemimpin yang terpilih kelak juga pemimpin yang bisa merangkul keberagaman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun