Mohon tunggu...
Budhi Wiryawan
Budhi Wiryawan Mohon Tunggu... profesional -

mengikuti kemana darah ini mengalir....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Upacara Kabut

9 Agustus 2016   19:19 Diperbarui: 10 Agustus 2016   00:04 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: TRIBUN PEKANBARU/MELVINAS PRIANANDA

gerimis itu lahir di beranda kamar
kau menyedak embun, pagi tak terbayar
kaki-kaki tak kuasa sentuh bibir bale
keringat disedu pori ari, jadi segelas kopi pahit 

lagi kau datang dengan sayap
sebelum hinggap di jendela kau lenyap
tinggalkan secarik memo, berhuruf kapital
bunyi pesanmu sangat lugas dan jelas

“ketahuilah perbuatan itu sejatinya belum dianggap
perjuangan, karena kemauan untuk terus bersama
dan bersama pula dalam fikiran dan gambaran tentang
masa depan, belum terjawab,
itulah awal dari perjalanan yang sesungguhnya”

diam terkadang menuntaskan kesementaraan
sebab gaduh di dada, belum tentu menyebar di mata
di kepala dan di angan-angan yang mungkin samar
seperti kabut.

Tapi pertemuan yang dulu kau sebut
sebagai upacara kabut  
benar ternyata, . Ia adalah selaput
yang menjemput jiwa-jiwa kalut
luka dalam kabut,  
merenggut maut 


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun