gerimis itu lahir di beranda kamar
kau menyedak embun, pagi tak terbayar
kaki-kaki tak kuasa sentuh bibir bale
keringat disedu pori ari, jadi segelas kopi pahit
lagi kau datang dengan sayap
sebelum hinggap di jendela kau lenyap
tinggalkan secarik memo, berhuruf kapital
bunyi pesanmu sangat lugas dan jelas
“ketahuilah perbuatan itu sejatinya belum dianggap
perjuangan, karena kemauan untuk terus bersama
dan bersama pula dalam fikiran dan gambaran tentang
masa depan, belum terjawab,
itulah awal dari perjalanan yang sesungguhnya”
diam terkadang menuntaskan kesementaraan
sebab gaduh di dada, belum tentu menyebar di mata
di kepala dan di angan-angan yang mungkin samar
seperti kabut.
Tapi pertemuan yang dulu kau sebut
sebagai upacara kabut
benar ternyata, . Ia adalah selaput
yang menjemput jiwa-jiwa kalut
luka dalam kabut,
merenggut maut