Kasus pelelangan rumah debitur oleh Koperasi Simpan Pinjam kembali mencuat dan menyita perhatian publik. Kasus ini sungguh sangat menyayat hati, bagaimana tidak, sebuah rumah dengan nilai ratusan juta rupiah bisa hilang hanya karena utang puluhan juta yang macet di Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Central Artha Graha. Awalnya, Sisno meminjam Rp25 juta pada tahun 2021 dengan agunan sertifikat rumah yang ditempatinya bersama Yayuk. Ia membayar cicilan Rp1,4 juta per bulan dan sudah melunasi 17 kali angsuran. Namun, akibat kesulitan ekonomi, cicilan tertunda. Dari sisa kewajiban Rp17 juta, Sisno sebenarnya berniat melunasi dengan membawa Rp20 juta ke koperasi. Sayangnya, pihak koperasi menolak, bahkan menagih hingga ratusan juta rupiah karena bunga dan sanksi keterlambatan yang membengkak tercatat sebesar Rp53,4 juta hanya untuk denda.
Alih-alih mencari solusi restrukturisasi atau memberi jalan tengah, KSP Central Artha Graha justru memilih jalur eksekusi. Sertifikat rumah dilelang melalui KPKNL Sidoarjo. Tanpa sepengetahuan Yayuk, pada Maret 2024 rumah tersebut resmi jatuh ke tangan pihak lain bernama Antoni. Ironisnya, pada Juli 2024, rumah yang masih ditempati Yayuk dipagari dengan anyaman bambu oleh suruhan Antoni, hingga Yayuk tidak bisa lagi berjualan kelontong di rumahnya sendiri. Di tembok rumah bahkan dituliskan kalimat yang menusuk hati: “Rumah Dalam Sengketa.”
Pertanyaannya, apakah praktik lelang semacam ini dapat dibenarkan? Apakah ia sah secara hukum dan adil secara moral? Mari kita kupas dari perspektif hukum positif dan keadilan sosial.
⚖️ Antara Hak Kreditur dan Perlindungan Debitur
Setiap kreditur memang berhak menagih piutangnya. Prinsip ini dijamin dalam perjanjian perdata. Namun, apakah pantas rumah senilai Rp300 juta dilelang hanya demi menutup utang Rp25 juta?
Di sinilah pentingnya perlindungan hukum terhadap debitur. Debitur kerap berada dalam posisi lemah, baik secara ekonomi maupun secara hukum. Jika tidak ada mekanisme pengawasan yang ketat, maka hak kreditur bisa berubah menjadi kesewenang-wenangan. Negara seharusnya hadir untuk mencegah praktik yang mencederai rasa keadilan sosial.
📜 Dasar Hukum yang Mengatur
Untuk memahami persoalan ini, mari kita lihat beberapa dasar hukum yang relevan:
1. Pasal 1131 KUHPerdata
“Segala barang-barang bergerak maupun tidak bergerak dari seorang debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”
Penjelasan:
Artinya benar, harta debitur bisa dijadikan jaminan atas utang. Namun, prinsip proporsionalitas tetap harus dijunjung. Jangan sampai pasal ini dijadikan tameng untuk mengeksekusi aset bernilai besar demi utang kecil.
2. Pasal 1132 KUHPerdata
“Kebendaan itu menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan yang sah untuk didahulukan.”
Penjelasan:
Pasal ini menegaskan prinsip paritas creditorium (kesetaraan kreditur). Namun, praktik di lapangan menunjukkan koperasi kerap hanya mementingkan kepentingannya sendiri tanpa memperhatikan hak debitur secara layak.
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Pasal 16 ayat (1):
“Koperasi dapat menjalankan usaha simpan pinjam sebagai salah satu usaha.”
Pasal 5 huruf (c):
“Koperasi berasaskan kekeluargaan dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.”