Mohon tunggu...
Budhi Prasetyo
Budhi Prasetyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi IT Profesional

Budhi Prasetyo adalah Praktisi IT Profesional Sajana Komputer jurusan Sistem Informasi lulusan STMIK Budi Luhur Jakarta (Sekarang Universita Budi Luhur Jakarta) yang berkompeten di dalam bidang Rekayasa Perangkat Lunak (Software Engineering)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Layakkah Khairul Anas Dijadikan Saksi Ahli IT pada Sidang Bawaslu?

16 Mei 2019   16:27 Diperbarui: 18 Juni 2019   04:40 1598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengamati persidangan Sidang Lanjutan Dugaan Pelanggaran SITUNG KPU pada tanggal 8 April 2019 yang lalu (baik melalui situs resmi BAWASLU maupun melalui video rekaman persidangan yang dipublikasikan oleh Humas BAWASLU di Channel Youtube-nya) yang pada hari itu fihak BPN Prabowo-Sandi sebabagai fihak pelapor menghadirkan seseorang yang dijadikan saksi ahli di bidang IT yang bernama Khairul Anas, ada 2 hal yang menarik untuk saya bahas di sini, yaitu:

1. Latar belakang pendidikan Khairul Anas yang bukan dari pendidikan ilmu komputer jurusan Sistem Komputer atau Teknik Informatika atau Sistem Informasi.

2. Performa pemaparan dan menjawab pertanyaan dari anggota majelis hakim, fihak BPN Prabowo-Sandi sebagai pelapor, dan fihak KPU sebagai terlapor.

Dari video yang saya menyaksikan video perisangan BAWASLU pada Channel Youtube Humas BAWASLU, saya menyaksikan bahwa pada awal persidangan Hakim ketua bertanya kepada Khairul Anas tentang latar belakang pendidikannya, ternyata Khairul Anas berlatar belakang pendidikan Teknik Elektro lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB). 

Meski Khairul Anas bukan berlatar belakang pendidikan Ilmu Komputer dari jurusan Sistem Komputer atau dari Teknik Informatika atau Sistem Informasi, hakim ketua tetap membolehkan Khairul Anas bersaksi sebagai saksi ahli yang dihadirkan fihak BPN Prabowo-Sandi. 

Secara pribadi, saya meragukan Khairul Anas mampu berpendapat atau menjawab-menjawab pertanyaan dengan jawaban yang berlandaskan akademis pendidikan ilmu komputer di dalam persidangan tersebut, namun karena rasa penasaran saya terhadap Khairul Anas ini, saya pun meneruskan menyaksikan video tersebut.


Sejak awal pemaparan Khairul Anas sebagai saksi ahli, dia hanya mengungkapkan fakta-fakta adanya kejanggalan di dalam SITUNG KPU dan pada menit ke-13-an, Ketua Majelis Hakim menegur Khairul Anas agar fokus saja pada pendapatnya tentang SITUNG KPU. Namun setelah ditegur demikian pun masih saja bukan memberikan pendapatnya terhadap SITUNG KPU, melainkan tetap melakukan pengungjapan fakta-fakta kejanggalan pada SITUNG KPU. Alhasil, pada menit ke 36-an pun kembali Ketua Majelis Hakim menegur Khairul Anas agar fokus pada pendapatnya terhadap SITUNG KPU. Maksudnya, apa yang dibutuhkan oleh Majelis Hakim BAWASLU itu adalah pendapat Khairul Anas sebagai saksi ahli itu apakah dia bisa memberikan pendapat tentang sudah baikkah atau masih burukkah SITUNG KPU. Namun sayangnya, hingga teguran Ketua Majelis Hakim yang kedua kalinya pun Khairul Anas belum memberikan pendapatnya.

Pada menit ke-39-an, seorang dari fihak pelapor menanyakan pendapat Khairul Anas mengenai layak atau tidak layaknya informasi yang disajikan oleh SITUNG KPU. Namun terjadi kemudian Khairul Anas bukan memberikan jawaban "Layak" atau "Tidak Layak", melainkan malah memberikan jawaban lain, yaitu "Kurang lengkap pak!". Dari jawabannya yang seperti itu, saya mulai mencurigai bahwa Khairul Anas ini tidak mau memberikan pendapatnya mengenai layak atau tidak layaknya informasi yang disajikan SITUNG KPU. 

Dan kecurigaan saya mulai terbukti setelah seorang dari fihak pelapor itu memberikan pertanyaan yang lebih tegas lagi "Kurang lengkap itu maksudnya bagian dari tidak layak untuk disajikan sebagai informasi?", Khairul Anas pun bukannya memberikan jawaban yang lebih tegas mengenai layak atau tidak layaknya, melainkan malah secar terang-terangan menjawab "Kalau Itu pendapat, saya tidak mau memberikan ini..", kemudian seorang pelapor tersebut menegaskan pertanyaannya, "Pendapat ahli gimana? Apakah itu kurang layak atau memang tidak patut untuk bisa ditampilkan?", Khairul Anas kembali bukannya menjawab pertanyaan tersebut, melainkan malah menjawab dengan jawaban "Eeehm...(berfikir sejenak), kalau bahasa saya bukan tidak layak, tapi kurang lengkap pak!".  Dan dari jawabannya yang seperti itu, kecurigaan saya semakin bertambah, jangan-jangan Khairul Anas ini memang tidak layak dijadikan saksi ahli di dalam bidang IT pada sidang tersebut.

Sebagai Sarjana Komputer dari jurusan Sistem Informasi yang belajar ilmu tentang Rekayasa Perangkat Lunak (Software Engineering), saya mengomentari kalimat Kharul Anas yang menyatakan "Kurang lengkap pak!", sesungguhnya bukan jawaban yang tepat, karena kalau sebuah sistem informasi dinyatakan kurang lengkap, berarti Khairul Anas sudah mengetahui seluruh isi daftar spesifikasi kebutuhan user --yang lazim dengan istilah user requirement specification documentation-- SITUNG KPU yang dibuat oleh seorang System Analyst pada saat proses pengembangan SITUNG KPU. 

Karena lengkap atau tidak lengkapnya sebuah sistem informasi itu harus ada pembandingnya, yaitu user requirement specification documentation yang dibuat oleh seorang System Anaylst pada saat proses analisa sistem. Lantas, atas dasar apa Khairul Anas bisa berpendapat SITUNG KPU itu tidak lengkap sementara sudah dapat saya pastikan Khairul Anas belum pernah membaca user requirement specification SITUNG KPU yang dibuat oleh seorang System Analyst dari fihak developer yang ditunjuk oleh KPU?

Orang yang berhak menyatakan lengkap atau tidak lengkapnya sebuah sistem informasi hanyalah seorang QA Officer pada tahapan QA pada saat pengembangan sistem informasi tersebut atau seorang Information System Auditor pada saat mengaudit sebuah sistem informasi, sedangkan Khairul Anas bukanlah seorang QA Officer dari fihak developer yang mengembangkan SITUNG KPU dan bukan pula serang IT Auditor yang mengaudit SITUNG KPU. 

Suatu fitur yang belum ada di dalam SITUNG KPU bukanlah perkara lengkap atau tidak lengkap, melainkan sesuatu yang belum ada dan bisa diusulkan yang nantinya bisa dijadikan spesifikasi tambahan pada user requirement specification documentaion yang dibual oleh System Anayst.

Dari jawaban "Kurang lengkap pak!" Khairul Anas yang sebenarnya dia maksud adalah belum adanya fitur yang dia inginkan pada SITUNG KPU, sesungguhnya sudah menunjukkan bahwa dia bukanlah seroang Ahli IT, karena fitur yang belum ada pada SITUNG KPU bukanlah perkara lengkap atau tidak lengkapnya SITUNG KPU. Dan perkara lengkap atau tidak lengkapnya fitur di dalam sistem informasi Vs belum adanya fitur yang bisa diusulkan adalah kedua hal yang berbeda di dalam ilmu rekayasa perangkat lunak, dan masing-masing berbeda dalam penangananya.

Mengenai jawaban Khairul Anas yang menyatakan "Itu pendapat, saya tidak mau memberikan ini" atas pertanyaan mengenai layak atau tidaknya informasi yang disajikan SITUNG KPU, sesungguhnya malah menyalahi wewenangnya, karena dia sudah dijadikan sebagai saksi ahli oleh pelapor dan sudah pula diberi wewenang untuk memberikan pendapatnya oleh Majelis Hakim, tetapi dia malah tidak mau menggunakan wewenangnya itu yaitu memberikan pendapatnya tentang SITUNG KPU.

Fakta ini semakin memperlihatkan bahwa Khairul Anas sesungguhnya bukanlah seorang Ahli IT, karena kalau benar dia seorang Ahli IT tentunya dia akan dengan mudah memberikan jawaban yang tegas "Layak!" atau "Tidak layak!" kepada penanya yang kemudian dia bisa menjelaskan alasan-alasannya dengan landasan akademis ilmu komputer dalam hal rekayasa perangkat lunak. Realitamya Khairul Anas bukanlah orang yang mempunyai kompetensi akademis Ilmu Komputer jurusan Sistem Informasi yang belajar ilmu rekayasa perangkat lunak, maka tidaklah mengherankan Khairul Anas tidak mampu menjawab dengan tegas pertanyaan mengenai layak atau tidak layaknya informasi yang disajikan SITUNG KPU itu.

Terlebih lagi jawaban Khairul Anas yang berbunyi "Kalau bahasa saya bukan tidak layak, tapi kurang lengkap", jawaban seperti ini sesungguhnya bukanlah sebuah jawaban melainkan sebuah usaha berkelit dari pertanyaan (baca: NGELES) dengan cara memaksakan persepsinya agar persepsinya itu bisa diterima oleh penanya yang kemudian dijadikan persepsi pula bagi penanya dari fihak pelapor.

Pada menit ke 1 jam lebih 12-an menit, salah satu hakim anggota meminta ketegasan Khairul Anas dengan pertanyaan "Apakah aplikasi SITUNG ini sudah masuk kategori yang baik atau belum?", Khairul Anas berfikir sejenak selama 7 detik, kemudian menjawab dengan jawaban "Hampir sempurna bu..., bla...bla...bla..". Dari begitu lamanya berfikir selama 7 detik itu sesungguhnya sudah memperlihatkan bahwa dia bukanlah seorang yang ahli dalam bidang IT, ditambah jawabannya yang demikian semakin menegaskan bahwa dia benar-benar bukan seorang ahli IT. Mengapa demikian? Karena jawaban "Hampir sempurna" itu tidak ada di dalam kategori kualitas perangkat lunak, yang ada adalah "Right or Wrong" (Benar atau Salah) atau "Good or Poor" (Baik atau Buruk) yang kesemua itu ditentukan dari faktor-faktor alat ukur untuk mengukur kualitas perangkat lunak yaitu Correctness, Reliability, Efficiency, Integrity, Usability, Maintainability, Testability, Flexibility, Portability, Reusability, dan Interoperability.

Pada menit ke 1 jam lebih 25-an menit, Khairul Anas menyarankan KPU agar KPU meminta fihak developer memberikan source (kode program) SITUNG KPU dengan alasan agar KPU mudah melakukan memodifikasi SITUNG KPU dengan source code yang diberikan oleh fihak developer kepada KPU. Bahkan Khairul Anas pun menyarankan kepada seluruh lembaga pemerintah agar meminta source code kepada fihak developer. Ini benar-benar saran yang konyol, bahkan boleh saya katakan saran yang ngawur. Dari sarannya seperti itu jelas menunjukkan bahwa Khairul Anas tidak faham tentang siklus hidup pengembangan sistem informasi yang lazim disebut System Development Life Cycle (SDLC) dan benar-benar tidak mengerti mekanisme maintenance dan version control sebuah proyek pengembangan sistem informasi.

Perlu pembaca ketahui bersama, bahwa source code itu adalah hak atas kekayaan intelektual milik setiap developer, baik secara perorangan maupun tim, sehingga tidak mungkin source code diberikan kepada user. Secara logis lagi, kalau pun source code sebuah sistem informasi diberikan kepada user, apakah user itu bisa mengerti bahasa program yang digunakan oleh developer sehingga user bisa melakukan modifikasi sistem informasi tersebut secara mudah? Tentu tidak mungkin kecuali user harus memangil fihak developer yang mengerti bahasa program dari source code tersebut.

Di dalam proyek pengembangan sistem informasi itu selalu terdapat dua termin pekerjaan yaitu Development dan Maintenance. Masing-masing termin dibatasi waktu dan biaya yang keduanya merupakan satu paket yang terikat dengan kontrak antara User vs Developer. Pada termin Development, pekerjaan yang dilakukan adalah melakukan Planning, System Analyzing, System Designing, Constructing (Programming), QA and Testing, Implementation (Installation), dan Operating. Termin development adalah termin dari belum adanya sistem informasi hingga adanya sistem informasi yang kemudian diluncurkan untuk dioperasikan. Sedangkan termin Maintenace adalah termin perawatan sebagai garansi terhadap sistem informasi yang sudah berhasil dikembangkan hingga bisa diluncurkan. 

Apabila setelah sistem informasi diluncurkan terdapat adanya error, maka fihak user melaporkan error tersebut kepada fihak developer agar error tersebut dibetulkan oleh fihak developer, maka jelas source code tetap berada di ditangan fihak developer. Kemudian antara fihak user dan fihak developer membuat kesepakatan tentang berapa lama proses pengerjaan pembetulan error tersebut, misalnya 1 pekan. Nah setelah pengerjaan pembetulan error tersebut selesai, sistem informasi tersebut di-deploy (didistribusikan) kembali sebagai versi terbaru sistem informasi tersebut. Inilah yang biasa disebut dengan istilah "naik versi" sehingga setiap kenaikan versi itu atas dasar ada permintaan modifikasi karena adanya error setelah sistem dijalankan dan fihak developer diharuskan mendokumentasikan tiap-tiap kenaikan versi sistem informasi tersebut agar bisa dilihat kembali sejarah kenaikan versinya atas dasar error yang mana.

Seperti yang sudah saya uraikan di atas bahwa termin maintenance juga terikat dengan kontrak dan dibatasi oleh waktu, misalnya 1 tahun. Setiap pelayanan developer terhadap user pada termin maintenance tersebut tidak ada biaya tambahan lagi karena biayanya sudah satu paket dengan biaya termin development. Dan apabila waktu termin maintenancenya telah habis, maka dibuat kontrak baru lagi untuk memperpanjang masa maintenance dan biayanya hanya biaya maintenance saja. So.., tidak pernah dikenal di dalam teori rekayasa perangkat lunak mana pun yang mengajarkan fihak developer memberikan source code-nya kepada fihak user dengan alasan apa pun kecuali alasan source code itu dibeli oleh fihak user atau source code tersebut di-open source-kan dengan lisensi General Public License sehingga bisa diakses, dipelajari, dimodifikasi dan digandakan oleh siapa pun. Karena, saya tegaskan sekali lagi, bahwa source code (kode program) dari sebuah sistem informasi itu adalah hak atas kekayaan intelektual setiap developer baik perorangan maupun tim.

Dari uraian saya di atas, berani saya tegaskan dengan landasan ilmu yang saya miliki di bidang Rekayasa Perangkat Lunak (Software Engineering) bahwa Khairul Anas bukanlah orang yang layak dijadikan saksi ahli untuk menilai kualitas SITUNG KPU karena memang tidak mempunyai landasan akademis, dan tidak pula punya argumentasi yang dapat dibenarkan di dalam sidang yang digelar oleh BAWALSU tersebut. Dan semua argumentasi yang dilontarkan oleh Khairul Anas pada sidang BAWASLU tersebut justru kontra produktif terhadap keinginan fihak BPN Prabowo-Sandi sendiri, yang mana BPN Prabowo-Sandi mengusulkan agar SITUNG KPU itu diaudit oleh BAWASLU, tetapi argumentasi-argumentasi yang dilontarkan Khairul Anas malah membuat kemungkinan BAWASLU untuk melakukan audit terhadap SITUNG KPU semakin kecil. Dan realitanya, pada sidang putusan, BAWASLU memutuskan bahwa KPU dinyatakan melanggal tata cara input data SITUNG KPU, sedangkan SITUNG KPU-nya tetap dianggap tidak bermasalah dan tidak perlu diaudit. Artinya Khairul Anas gagal memenuhi target BPN Prabowo-Sandi yang menginginkan SITUNG KPU diaudit.

Jika boleh saya ibaratkan, Khairul Anas ini ibarat orang yang baru pandai dan piawai memasang kawat gigi (behel) dari berbagai bantuk gigi dari pelanggannya, tetapi dia sudah merasa sebagai dokter specialis gigi, yang kemudian dijadikan saksi ahli oleh BPN Prabowo-Sandi dalam kasus wabah penyakit gigi.

Menyikapi segala hal yang dilontarkan Khairul Anas pada sidang yang digelar BAWASLU tersebut, saya merasa geregetan karena pendapat dan jawabannya ngawur semua, dan merasa marah karena ilmu komputer pada jurusan Sistem Informasi yang belajar tentang ilmu Rekayasa Perangkat Lunak (Software Engineering) dijadikan sesuatu yang dilecehkan oleh pendapat dan jawaban-jawabannya yang ngawur pada sidang tersebut, sehingga berkali-kali saya pun menyanyikan lagu Slank yang berjudul "Pala Loe Peyank".

Salam,

Budhi Prasetyo, S. Kom

Alumi STMIK Budi Luhur Jakarta (sekarang Universitas Budi Luhur Jakarta) angkatan tahun 1994 jurusan Sistem Informasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun