Mohon tunggu...
Budi Setiawan
Budi Setiawan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Ajarkan "Kekerasan" Pada Anak

12 Agustus 2016   23:40 Diperbarui: 13 Agustus 2016   00:04 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Miris...mungkin itu kata yang tepat menggambarkan perasaan hati saya saat ini melihat apa yang terjadi di dunia pendidikan kita saat ini. Melihat kekerasan yang di lakukan oleh figur - figur yang membentuk karakter anak yaitu orang tua dan guru. Tidak habis pikir bagaimana bisa orang tua dan anak  "berkolaborasi" melakukan tindakan kekerasan terhadap guru nya ?? Ini adalah bencana Sosial !

Terlebih melihat solusi yang di lakukan hanya mengambil sikap hukum terhadap orang tua dan anak (pelaku) sebagai peringatan agar kejadian serupa tidak terulang, bahkan ada tindakan yang akan di nilai menghilangkan HAK ASASI anak dengan ujaran untuk menolak si anak untuk bisa bersekolah lagi di wilayah itu. Tidak sama sekali melihat penyebab mengapa orang tua dan bahkan anak sampai melakukan tindakan kekerasan sebagai solusi menyelesaikan masalah.

Saya melihat, kebijakan memberikan "hukuman fisik" terhadap anak didik sudah tidak bisa lagi di terapkan dalam dunia pendidikan sekarang ini. Karena dengan kemajuan zaman dan informasi  "kekerasan" tidak lagi bisa di terima bahkan di lingkungan yang selama ini mempunyai "hak" untuk memberikan kekerasan terhadap anak. Dulu pemikiran masyarakat kita menilai orang tua mempunyai "hak" melakukan kekerasan terhadap anak nya sebagai hukuman atas kenakalannya. 

Orang tua merasa sang anak adalah darah daging nya sendiri dan yang dilakukan nya dalam rangka mendidik anak nya. Tapi sekarang ini tindakan kekerasan yang di lakukan di lingkungan keluarga bahkan oleh orang tua kandung sendiri pun tidak di benarkan bahkan ada konsekwensi hukum terhadap orang tua kandung tersebut. Lalu apakah sekolah juga merupaka lingkungan yang di berikan "hak" melakukan penghukuman terhadap anak didik dengan "hukuman fisik" yang sangat tipis di sebut "kekerasan" masih relevan saat ini ??

Ketika Pak Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan membuat kebijakan orang tua mengantar anak ke sekolah dan menghapus perploncoan saya melihat itu sangat baik. Ketika orang tua mengantarkan anak ke sekolah hubungan emosional tidak hanya terbangun antara orang tua dan anak saja, tp membangun komunikasi antara guru dan orng tua sebagai wali murid. 

Ketika orang tua mengatakan "Bpk/Ibu guru...saya titipkan anak saya untuk belajar di sekolah ini" membuat ikatan emosional yang kuat antara guru - anak didik -  orang tua wali murid. Sehingga ketika terjadi kebuntuan pada saat anak didik tidak bisa lagi di arahkan oleh sekolah, guru mempunyai beban moral terhadap orang tua yang menitipkan anak nya, sehingga guru akan membuka komunikasi kepada  orang tua dalam menyikapi kenakalan anak nya di sekolah. 

Penghapusan MOS pun saya anggap mempunyai nilai yang sangat penting, bayangkan menghapus tindakan "kekerasan" yang selalu di timbulkan oleh kegiatan MOS dan terbukti selalu terjadi di wilayah manapun, sehingga anak didik tidak di jejali oleh percontohan akan tindakan kekerasan yang terbukti menjadi efek domino ketika anak didik itu menjadi siswa senior akan melakukan nya terhadap yunior nya.

Saya tidak mencoba membandingkan kebijakan menteri terdahulu dengan yang sekarang, apa lagi menyesalkan kebijakan pergantian oleh Presiden pada pucuk pimpinan di Kementrian Pendidikan. Tapi sangat menyesalkan komentar Pak Muhadjir di salah satu Media Online  saya kutip seperti ini..."tindakan penganiayaan terhadap guru tidak bisa di toleransi pasalnya tindakan itu melanggar HAM...tindakan kekerasan memang dilarang namun dalam batas tertentu (?????????) sebab pendidikan bukan hanya tentang kasih sayang namun pembentukan kepribadian agar anak tahan banting ( saya: ????????????) maka tidak bisa terwujud tanpa pendidikan yang keras ( kembali saya: ??????????) maka orang tua harus membedakan antara kekerasan pendidikan dan pendidikan dalam kekerasan (dan akhir nya kembali saya: ??????!!!!!!!!!!!). 

Dan komentar beliau selanjut nya yang membuat saya sedih "sanksi fisik bisa di toleransi dalam pendidikan..." dan beliau selanjut nya mengatakan "tentara merupakan hasil pelatihan dalam kekerasan agar tangguh" Maaf Pak Menteri saya yang bodoh ini sangat tidak mengerti dengan pemikiran bapak ini.

Saya sebagai orang tua tetap menilai bahwa bisa terjadi kemungkinan anak cenderung mempunyai keputusan melakukan kekerasan dalam menyelesaikan masalah di karenakan contoh kekerasan yang di tampilkan meski dalam bentuk hukuman sekolah terhadap kenakalan nya. Anak akan berfikir, dia di perbolehkan melakukan kekerasan ketika ia merasa punya "hak" dan "pantas" untuk melakukan kekerasan. Seperti yang di tunjukan oleh guru maupun orang tua nya sendiri yang merasa juga mempunyai "hak" dan "pantas" untuk melakukan kekerasan meski hanya dalam bentuk penghukuman. 

Saya sebagai orang tua lebih memilih anak  di beri hukuman administrasi ketika anak melakukan kesalahan dan kenakalan anak di sekolah, apakah itu tugas tambahan dari guru sehingga ada dua nilai yang bisa di capai. 1. Anak tetap merasa ia melakukan kesalahan dan ia di hukum atas kesalahan nya, 2. Meski dalam kesalahan ia tetap bergumul dengan pelajaran dengan tugas tambahan yang harus di kerjakan oleh anak. Saya terinspirasi oleh komika Pandji Pragiwaksono dalam salah satu show nya menceritakan salah satu sikap guru terhadap anak didik nya....."ketika anak benar di puji, ketika salah di betulkan, ketika anak nakal di hukum..." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun