Sampai dia bilang boleh nanya? lembut, penuh ingin tahu:
"Kamu ceritain deh... ada apa dengan kita saat itu?"
Ntar kamu bad mood lagi?
Nggak, hari ini aku lagi seneng bener, aku siap denger semua yang jelek jelek katanya
Aku menatap cangkir kopi, panasnya menenangkan tapi juga menegangkan.
Aku mulai bercerita: tentang bagaimana aku mundur pelan-pelan, tentang versi tomboynya yang dulu, yang genuine, yang membuatku merasa dekat tanpa syarat.
Tentang bagaimana aku merasakan incongruence ketika dia berubah demi memberi impresi.
Tentang bagaimana Capricornku tak bisa menerima ketulusan yang terselubung, dan aku memilih mundur demi menjaga integritas emosional.
Dia mendengarkan, diam. Aku bisa merasakan matanya menelusuri setiap kata, menyerap, tanpa menghakimi.
Aku menatapnya, dan entah bagaimana, ada ketenangan di sana.
Bahwa meski aku mundur, peduliku tak pernah hilang.
Bahwa terkadang suka bukan soal memiliki atau menuntut, tapi tentang menghargai yang asli, dan memberi ruang untuk jujur.
Di sudut kafe itu, dunia di luar terasa menjauh.
Hanya ada kami, aroma kopi, dan suara langkah kaki yang memudar di lantai keramik.
Aku tersenyum pelan.
Mungkin ini yang disebut kesempatan kedua, bukan untuk kembali seperti dulu, tapi untuk merasakan, tanpa prasangka, tanpa harus menuntut.
Untuk duduk di sini, bersama dia, dan membiarkan masa lalu bicara dengan cara yang paling tulus.
"Untuk Tiar, yang dulu pernah berubah demi aku, dan justru membuatku mundur.
Terima kasih --- untuk dirimu yang pernah nyata, dan juga untuk versi dirimu yang dulu berusaha tampak sempurna."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI