Mohon tunggu...
bucek molen
bucek molen Mohon Tunggu... Konsultan

Pernah tinggal di banyak kota, mencintai beberapa orang, dan menyesali hampir semuanya. Menulis bukan untuk didengar, tapi agar suara-suara dalam kepala tak meledak diam-diam. Tidak sedang mencari pengakuan, hanya menaruh serpihan hidup di tempat yang tidak terlalu ramai.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Cintaku Yang Pertama

4 September 2025   16:21 Diperbarui: 4 September 2025   16:56 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Di Atas Genteng, Aku Membaca Cinta"  by Kasep Photo

Aku tidak tahu bagaimana caranya sebuah kertas biru bisa membuat sore terasa berbeda.

Biasanya setelah tidur siang wajib, aku keluar dengan sepeda. Ada tetangga sederet rumah Widya, Mila, dan tentu saja Ria---yang paling judes di antara kami. Kalau aku kalah balapan, dia yang paling keras ketawa. Kalau aku telat keluar rumah, dia nyeletuk, "Nungguin kamu bisa sampe Isya!". Kalau sepedaku bersisian dengannya dia akan bilang "ngapain sih dekat-dekat?" Kadang bikin kesal, tapi anehnya aku tidak pernah benar-benar marah.

Hari itu setelah sepedaan kami mampir ke rumah Ria. Es jeruk jadi ritual kecil setelah sepedaan: bunyi es batu beradu di gelas besar, suara seruputan yang bikin segar. Saat Widya dan Mila pamit, aku juga bersiap pulang. Tapi dia menahan langkahku, menatapku sekilas.

"Ini... buat kamu," katanya sambil menyerahkan amplop biru. Tangan kecilnya menekan amplop di tanganku, sedikit gemetar. Aku cuma bengong.

Aku simpan di saku, pura-pura cuek. Tapi jantungku berdegup. Sampai rumah, aku tidak berani membacanya di dalam. Takut abang ku ikut baca, takut bapak ibu ku tahu. Entah kenapa, aku naik ke genteng lewat pohon rambutan di samping rumah. Di sanalah aku membuka lipatan kertas itu dengan tangan gemetar.

Tulisan tangannya miring, hati-hati, penuh wangi parfum yang terlalu kuat untuk ukuran anak SD. Ada banyak kalimat manis yang sekarang sudah kabur dari ingatanku. Kecuali satu, yang ku ingat sampai hari ini:

"Hanya kamu yang bisa membuka pintu hatiku."

Aku menatap kata-kata itu lama sekali. Jujur, bukannya merasa tersanjung, aku malah bingung. Mengapa aku? Dia selalu judes. Apa mungkin semua judesnya itu cuma cara menutupi sesuatu? Aku tidak paham. Usia segitu, aku nggak kenal ber-love love an dan belum kenal yang namanya pacar. Sekedar suka lihat yang cantik dan menarik wajar lah, tapi suka beneran? Belom kepikiran.

Besoknya sekolah terasa lain. Dia di 6A, aku di 6B. Tapi entah kenapa kami sering bertemu di selasar. Pipinya selalu merah setiap kali matanya bertemu denganku. Ia pura-pura ngobrol sama temannya, pura-pura sibuk. Aku juga pura-pura cuek, padahal di dalam dada ada degup yang aneh.

Kami tidak pernah membicarakan surat itu. Tapi justru karena itu, semuanya terasa lebih rahasia, lebih indah, lebih besar daripada kata-kata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun