Dalam teori politik, pilihan antara oposisi dan koalisi berkaitan dengan strategi aktor politik dalam sistem pemerintahan, terutama dalam demokrasi parlementer dan presidensial. Beberapa teori yang relevan antara lain:
1. Teori Koalisi Minimal Winning Coalition (Riker, 1962)
- William Riker dalam The Theory of Political Coalitions menyatakan bahwa partai-partai politik cenderung membentuk koalisi minimal pemenang (Minimal Winning Coalition), yaitu koalisi yang memiliki cukup kursi untuk membentuk pemerintahan tanpa memberikan kekuasaan berlebih kepada pihak lain.
- Koalisi ini bertujuan untuk memaksimalkan kekuasaan dan meminimalkan pembagian sumber daya ke lebih banyak pihak.
2. Teori Koalisi Surplus
- Berbeda dengan teori Riker, dalam sistem politik tertentu, partai politik dapat memilih koalisi surplus (Oversized Coalition) untuk meningkatkan stabilitas politik, terutama dalam situasi di mana ada ancaman dari kelompok oposisi atau ketidakstabilan dalam parlemen.
- Contohnya adalah di negara-negara dengan sistem multipartai yang kompleks seperti Indonesia.
3. Teori Oposisi dan Demokrasi (Dahl, 1971)
- Robert Dahl dalam konsep Polyarchy menjelaskan bahwa oposisi memiliki peran fundamental dalam demokrasi karena memastikan adanya kontrol dan keseimbangan terhadap pemerintah.
- Keberadaan oposisi yang kuat menjamin transparansi, akuntabilitas, dan mengurangi risiko otoritarianisme dalam pemerintahan.
4. Teori Rational Choice dalam Politik (Downs, 1957)
- Anthony Downs dalam An Economic Theory of Democracy menjelaskan bahwa partai politik dan politisi bertindak berdasarkan kalkulasi rasional untuk memaksimalkan keuntungan politik.
- Jika masuk ke dalam koalisi meningkatkan peluang berkuasa, partai akan cenderung memilih bergabung. Sebaliknya, jika menjadi oposisi lebih menguntungkan untuk jangka panjang (misalnya dalam menyiapkan kemenangan pemilu berikutnya), maka oposisi menjadi pilihan yang lebih rasional.
5. Teori Institusionalisme (North, 1990)
- Menurut teori institusionalisme, pilihan oposisi atau koalisi bergantung pada aturan dan struktur kelembagaan negara, seperti sistem pemilu, aturan parlemen, serta norma politik yang berlaku.
- Di negara dengan sistem presidensial seperti AS atau Indonesia, koalisi sering bersifat pragmatis, sedangkan dalam sistem parlementer seperti Inggris atau Jerman, koalisi lebih terstruktur karena menyangkut pembentukan pemerintahan.
Kesimpulan
Pilihan oposisi atau koalisi dalam politik sangat bergantung pada:
- Struktur kelembagaan (sistem presidensial vs parlementer).
- Hitungan rasional partai (keuntungan elektoral, pengaruh kebijakan).
- Stabilitas politik (ancaman oposisi, ketidakpastian parlemen).
- Norma politik dan budaya demokrasi.
Di negara-negara dengan sistem multipartai seperti Indonesia, koalisi sering kali menjadi pilihan strategis demi stabilitas pemerintahan, tetapi oposisi tetap penting untuk menjaga demokrasi yang sehat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI