Hikmah di Balik Kebaikan: Pelajaran dari Kisah Nunung"
Kehidupan adalah perjalanan penuh dinamika. Ada saat di mana kita berada di puncak kejayaan, dikelilingi oleh banyak orang yang tampak peduli, dan ada pula saat kita jatuh dalam kesulitan, hanya untuk menyadari bahwa sebagian besar dari mereka telah pergi. Inilah kisah yang dialami oleh Nunung, seorang komedian legendaris yang dikenal tidak hanya karena bakatnya, tetapi juga karena kedermawanannya kepada keluarga dan orang-orang di sekitarnya.
Di masa suksesnya, Nunung banyak membantu keluarga dan kerabatnya, memberikan dukungan finansial, dan memastikan kebahagiaan mereka. Namun, ketika dirinya jatuh sakit dan menghadapi kesulitan ekonomi, banyak dari mereka yang dulu dibantu justru tidak hadir untuknya. Kekecewaan pun muncul, sebagaimana diungkapkannya dalam berbagai wawancara dan talk show. Nunung merasa menyesal dan terkadang menganggap dirinya "bodoh" karena terlalu percaya dan baik hati.
Namun, apakah benar kebaikan yang dilakukan tanpa pamrih bisa dikatakan sebagai kebodohan? Atau justru ini adalah bagian dari ujian kehidupan yang lebih besar?
Pelajaran dari Pemikiran Sufi
Dalam pemikiran sufi, kehidupan adalah perjalanan spiritual menuju Tuhan, dan setiap ujian yang datang adalah cara Allah mendekatkan hamba-Nya kepada-Nya. Jalaluddin Rumi mengatakan:
"Luka adalah tempat cahaya masuk ke dalam dirimu."
Rumi ingin mengajarkan bahwa penderitaan bukanlah akhir, melainkan titik balik menuju kebijaksanaan yang lebih dalam. Kekecewaan yang dialami Nunung adalah bentuk pengingat bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari manusia, tetapi dari Tuhan. Imam Al-Ghazali juga mengingatkan bahwa memberi tanpa mengharapkan balasan dari manusia adalah bentuk kebaikan yang paling tinggi.
Pandangan Stois terhadap Kekecewaan
Dalam filsafat Stoisisme, terutama dalam pemikiran Marcus Aurelius dan Epictetus, kehidupan dianalisis dalam dua hal: hal yang bisa kita kendalikan dan hal yang tidak bisa kita kendalikan.
- Yang bisa kita kendalikan: Niat dan tindakan kita. Nunung memilih untuk berbuat baik, dan itu adalah sesuatu yang ada dalam kendalinya.
- Yang tidak bisa kita kendalikan: Bagaimana orang lain merespons kebaikan kita. Apakah mereka berterima kasih atau melupakan kita, itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan.
Epictetus pernah berkata:
"Jika kamu mengharapkan orang lain bersikap baik kepadamu karena kamu bersikap baik kepada mereka, itu seperti mengharapkan seekor singa tidak akan memangsa kamu karena kamu tidak memangsa mereka."
Dalam hal ini, pelajaran dari Stoisisme untuk Nunung (dan kita semua) adalah bahwa kekecewaan muncul ketika kita mengharapkan sesuatu di luar kendali kita. Jalan keluar dari penderitaan bukanlah menyesali kebaikan yang telah diberikan, tetapi menerima kenyataan bahwa tidak semua orang akan menghargainya.
Filsafat Klasik dan Makna Kebaikan
Aristoteles dalam konsep Eudaimonia (kebahagiaan sejati) menjelaskan bahwa kebahagiaan bukan sekadar perasaan senang, tetapi hasil dari menjalani hidup dengan kebajikan (virtue). Seseorang yang terus berbuat baik meskipun tidak mendapatkan balasan tetap akan mencapai kebahagiaan batin yang lebih tinggi.
Plato juga menekankan bahwa dalam masyarakat, ada mereka yang "melihat cahaya" dan ada yang masih "terperangkap dalam gua" (dalam alegori gua). Orang-orang yang belum memahami nilai sejati dari kebaikan mungkin akan bertindak egois, tetapi itu tidak berarti mereka yang berbuat baik salah.
Teori Psikoanalisis: Mengapa Kita Kecewa?
Dalam psikoanalisis, Sigmund Freud menjelaskan bahwa manusia memiliki dorongan bawah sadar untuk diterima dan dihargai oleh lingkungan sosialnya. Ketika seseorang berbuat baik, ada harapan (meskipun tidak disadari) bahwa kebaikan itu akan dikembalikan dalam bentuk penghargaan atau rasa terima kasih.
Carl Jung menambahkan bahwa manusia memiliki "bayangan" dalam dirinya, yaitu sisi gelap yang menyimpan ketakutan dan kekecewaan yang tidak diakui secara sadar. Dalam kasus Nunung, rasa menyesalnya bisa jadi muncul karena bayangan dari pengalaman hidupnya yang mengharapkan bahwa keluarga akan selalu ada untuknya sebagaimana ia pernah ada untuk mereka.
Namun, Jung juga menekankan konsep Individuasi, di mana seseorang mencapai pemahaman mendalam tentang dirinya sendiri dan menerima segala aspek kehidupannya dengan penuh kesadaran. Jika Nunung mampu melihat perjalanan hidupnya sebagai bagian dari pembelajaran, ia bisa menemukan ketenangan batin yang lebih dalam.
Kesimpulan: Kebaikan Tidak Pernah Sia-Sia
Nunung adalah simbol dari orang baik yang mungkin kecewa, tetapi tetap berharga. Pelajaran dari pemikiran sufi, filsafat Stois, filsafat klasik, dan psikoanalisis menunjukkan bahwa:
- Kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas akan selalu memiliki makna, meskipun tidak dihargai oleh manusia.
- Kekecewaan muncul dari harapan terhadap sesuatu yang di luar kendali kita.
- Kesulitan adalah bagian dari ujian kehidupan yang bisa membawa kita menuju kebijaksanaan yang lebih tinggi.
- Memahami diri sendiri dan menerima realitas adalah kunci untuk mencapai ketenangan batin.
Dunia memang penuh dengan ketidakpastian, tetapi satu hal yang pasti: kebaikan tidak pernah sia-sia. Ia mungkin tidak selalu kembali dalam bentuk yang kita harapkan, tetapi ia selalu memiliki makna yang lebih dalam dalam perjalanan hidup kita.
Semoga Nunung terus diberi kekuatan, dan semoga kita semua belajar bahwa dalam hidup, ada saat kita memberi, dan ada saat kita menerima---dan keduanya adalah bagian dari kebijaksanaan yang harus diterima dengan hati yang lapang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI