“Demikian yang dapat saya sampaikan, pak. Terimakasih telah menerima saya malam ini.”
“Saya yang mesti terimakasih, pak guru. Anda telah sudi datang ke gubuk kami ini. Mudah-mudahan Saya bisa membina anak saya supaya di sekolah nanti tidak terlalu merepotkan.”
“Jangan berkata begitu, pak. Ini sudah tugas kita semua.” Pak guru memandang sejenak pada pintu yang masih menganga.
“Kalau begitu, saya permisi, pak. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Lelaki berpeci putih dengan baju koko mengantar tamunya hingga melewati pagar bambu rumahnya. Orang yang dipanggil pak guru telah menghilang dibalik temaram bohlam kecil di muka rumahnya.
Di muka pintu ia memandang wanita yang sangat dicintainya lekat-lekat. Pandangan meminta permakluman. Sebab apa yang akan ia lakukan nanti adalah sebuah bentuk kekecewaan. Istrinya menyambut dengan tatapan eskapis bercampur iba. Kemudian menenggelamkan pandangan pada anak laki-lakinya. Anak yang tengah duduk bak pesakitan di kantor polisi. Siap tidak siap harus bersiap untuk diinterogasi bahkan disiksa sekalipun.
“BIKIN MALU! DASAR MALING!” Umpatannya terdengar seperti meludah. Gemeletuk gigi nyaring terdengar.
“Bapak, pelan-pelan!” Suara istrinya mengiba. Memang kalimat perintah tetapi sekaligus mengandung intonasi permohonan ampun.
Sungguh ajaib. Bapak menurut. Tetapi dadanya bergemuruh hebat. Pundak kekarnya naik turun. Hatinya terguncang hebat. Hingga matanya menyala-nyala.