Mohon tunggu...
Buana Kemi
Buana Kemi Mohon Tunggu... PNS -

Aku adalah goblok bermartabat karena selalu bodoh di hadapan hidangan ilmu baru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benteng Terakhir Melawan Korupsi

24 Februari 2016   11:48 Diperbarui: 24 Februari 2016   12:04 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dalam budaya palsu tentu berisikan manusia yang sama palsunya. Punya otak tapi tak berpikir baik. Berpikir tapi salah. Bertindak atas landasan pikiran yang salah melahirkan keburukan. Berkata manis tetapi bohong. Ingin enak tapi tak mau pahitnya. Inilah makhluk apatis yang mengisi hidup dengan keraguan pada pemerintah tetapi ia juga tak percaya dirinya mampu. Inilah makhluk tamak yang berdiri di atas bangkai saudaranya.  

Inilah situasi sekarang kita berada. Kecurangan yang dilakukan seolah hilang kadar dosanya. Secara ikhlas beramal ke masjid meski dari hasil korupsi. Bisa suci atau tidaknya harta sudah bukan perkara moral lagi. Sungguh berani menyogok Tuhan dari hasil perbuatan curang. Meskipun hati kecil ingin ditipu tapi rasa bersalah selalu ada. Hanya saja, bisa sedikit tenang karena pejabat atau pegawai lainnya juga melakukan hal yang sama. Karakter-karakter seperti ini mengisi keseharian hidup kita; sedekah berkedok kesalehan sosial. Berkalkulasi dengan tuhan, curi sepuluhribu sedekah limaribu.

Menurut hemat saya, langkah efektif dalam membasmi korupsi adalah dengan melakukan instal ulang pada sistem pemerintahan dan birokrasi. Semua pejabat dan pegawai pemerintahan yang ada sekarang dipensiunkan. Disuruh jadi penonton saja. Tetapi saya menjadi lebih khawatir karena generasi yang akan menjadi sistem baru justru telah terjangkiti pemahaman generasi tua. Bahkan sistem yang baru ini akan semakin memperkeruh keadaan. Mereka ini bisa jadi akan menjelma sebagai predator baru yang lebih buas dari sebelumnya. Saya bisa bayangkan, orang yang selama ini menjadi penonton, berteriak dipinggir lapangan, menghujat dengan amarah, justru membawa revolusi yang dilatarbelakangi oleh kecemburuan sosial. Generasi yang selama ini dicekoki tontonan bahwa menjadi pejabat negara adalah selebritas birokrasi, pesohor negeri yang selalu berpesta di akhir pekan. Apa bisa menjamin bahwa generasi seperti itu akan bisa menggantikan generasi tua kita? Tentu tidak.

 ***

Mari jujur! Kita tidak sedang diancam oleh kekuatan militer asing. Mungkin kita sedang merasa terancam tetapi bukan diancam. Bangsa ini tidak sedang perang melawan Malaysia atau negara lainnya. Kita sedang berperang melawan musuh yang jauh lebih berbahaya dari kekuatan militer manapun, korupsi. Jika dalam perang sebenarnya kita dapat menilai dimana target/musuh untuk dapat diserang. Kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang abstrak. Koruptor hanya salah satu output dari hasil perbuatan korup. Sementara korupsi adalah potensi. Ada di setiap kesempatan hidup manusia. Ia-lah potensi yang merayu setiap hati manusia untuk ditarik dalam situasi mementingkan diri sendiri di atas orang lain. Ia-lah buah dari ketamakan akibat minimnya kejujuran. Dan ia-lah penyebab atas kegaduhan massal yang menimpa bangsa ini.

Sangat tidak mungkin mendeteksi korupsi untuk ditembak dengan senapan, karena yang bisa berhadapan dengan ‘potensi’ hanya karakter. Manusia hanya harus menentukan sikap terhadap situasi.


Suka tidak suka, mau tidak mau, benteng terakhir dalam mengatasi serangan korupsi adalah karakter mulia.  Tidak bisa menunggu lagi, benteng karakter manusia nusantara harus dibangun demi Indonesia yang lebih baik. Di sinilah pertaruhan terakhir bangsa ini jika betul-betul niat untuk menyelamatkan diri dari kehancuran.

Tanggung jawab ada di tangan kita semua. Tidak perduli siapa, pejabat, ulama, pengusaha, rakyat jelata sekalipun harus terlibat. Terlebih kepada sekolah sebagai institusi pengembang karakter mulia. Sekolah harus membuka integrasi dengan badan hukum, pemerintahan, serta partai politik dalam membangun karakter bangsa. Pendidikan tidak boleh hanya bertumpu pada keberhasilan akademik semata tetapi luput pada pembentukan karakter. Demikian agar tidak lahir karakter cacat atau lulusan karbitan dari rahim pendidikan nasional.

Perilaku lingkungan juga sangat menentukan pembentukan karakter. Sebaiknya para wakil rakyat serta birokrat menunjukkan kebersahajaan di hadapan publik. Tunjukkan sikap orang yang melayani bukan dilayani. Karena teladan merupakan pendidikan hidup yang paling sering ditemui dalam banyak kesempatan di dunia ini.

Ketika benteng karakter kokoh maka bukan hanya korupsi yang dapat dimusnahkan tetapi musuh sekuat apapun dapat dihadapi. Karena yang mengisi ruang hidup republik ini bukan lagi para pecundang yang mementingkan diri sendiri. Bukan pula pengecut yang takut miskin sehingga lupa bahwa di sekitar mereka hidup orang-orang miskin.    

 

Taliwang 24 Februari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun