Mohon tunggu...
Bryan AstroJulio
Bryan AstroJulio Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Globalisasi & Krisis Pembangunan Berkelanjutan.

18 Januari 2022   13:30 Diperbarui: 18 Januari 2022   13:31 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu dekade sudah KTT Rio tahun 1992 berlalu. Pada waktu itu, konfrensi tersebut dipuji karena berhasil menepatkan krisis lingkungan global hidup sebagai prioritas utama agenda internasional, dan juga keberhasilannya mengaitkan antara lingkungan hidup dengan pembangunan dalam suatu paradigma baru pembangunan berkelanjutan. Pada saat itu muncul harapan bahwa "Semangat Rio" dapat mengarahkan paradigma tersebut kedalam program-program dan ke bijakan praktis yang mampu mengatasi krisis lingkungan dan pembangunan dalam suatu hubungan kemitraan yang baru antara Utara-Selatan. 

Saat ini, harus diakui bahwa proses setelah KTT Rio secara umum gagal memenuhi janji-janji dan harapan-harapan yang muncul pada saat itu. KTT Rio dan lima pertemuan lain dibawah PBB (Sesi khusus Sidang Umum PBB untuk mengulas Konferensi PBB mengenai Pem bangunan dan Lingkungan, (United Nations Conference on Environment and Development-UNCED) berakhir pada bulan Juni 1997 tanpa suatu pernyataan politik apapun, lantaran jurang pemisah antara negara-negara Utara dan negara-negara Selatan terlalu lebar untuk dijembatani.

Kemerosotan lingkungan global terus berlangsung. Sebagai contoh, hutan-hutan lenyap atau terdegradasi rata-rata 14 juta hektar per tahun; Gas Rumah Kaca semakin memenuhi atmosfir, dan disisi lain Amerika Serikat malahan menarik diri keluar dari Protokol Kyoto, dan pencapaian target pengurangan emisi jelas jelas tidak memadai; serta terjadinya krisis kekurangan air di seluruh dunia.

Alasan mengenai hal tersebut tidak dapat ditemukan dalam paradigma sebagaimana telah disebutkan di depan. Alih-alih, paradigma tersebut bahkan tidak mendapat kesempatan untuk diuji dalam sebuah proses implementasi. Yang justru terjadi, paradigma pembangunan berkelanjutan tersaingi oleh paradigma lain, yakni paradigma globalisasi. Paradigma tandingan tersebut memang telah menjadi semakin kuat, bahkan sebelum proses UNCED dimulai. Namun demikian, ada satu saat dimana UNCED mampu bersaing dengan globalisasi, dan UNCED bahkan didukung oleh Konferensi Pembangunan Sosial di Copenhagen pada tahun 1995.

Bagaimanapun juga, paradigmaglobalisasi mendapat dukungan yang besar dari Persetujuan Marrakesh pada tahun 1994 (the Marrakesh Agreement of 1994) yang me nandai berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization = WTO). Globalisasi menemukan sebuah wadah institusional dengan munculnya banyak ruang-ruang kesempatan dalam sejumlah persetujuan WTO. Lebih jauh lagi, sistem penyelesaian perselisihan WTO yang didasarkan pada tindakan balas dendam dan sanksi-sanksi telah memberikan suatu landasan pelaksanaan yang kuat. Persetujuan WTO berlawanan dengan Agenda 21 dan Deklarasi Rio. UNCED tidak memiliki sistem atau agen pelaksana yang cukup kuat, yang dapat menjamin dipatuhinya persetujuan persetujuan yang telah dibuat. Menginjak dasawarsa 1990-an, pada saat persetujuan WTO menjadi se makin operasional, paradigma globalisasi kian jauh meninggalkan paradigma pembangunan berkelanjutan. Persetujuan Marrakesh 1994 telah mengalahkan dan mengesampingkan hasil Konferensi Rio 1992.

Lebih lanjut, globalisasi didukung oleh lebih banyak pihak dibandingkan WTO. Liberalisasi keuangan telah ikut berperan sebagai penyebab babak krisis keuangan baru yang dimulai dari Mexico, berlanjut ke Asia Timur, Rusia dan Brazil dan saat ini merambah Turki dan Argentina. Hal tersebut merupakan kelanjutan dari krisis hutang yang sebelumnya terjadi dan sampai saat ini belum berakhir di Afrika dan di sejumlah negara negara lain.

Globalisasi juga dapat terjadi dalam bentuk pe nyebaran teknologi-teknologi baru, termasuk rekayasa genetika yang berpotensi mempengaruhi lingkungan secara signifikan. 

Persaingan antara kedua paradigma, yang secara pasti dimenangkan oleh paradigma globalisasi, dengan kecepatan, arah serta dampak-dampak yang kelihatannya tidak terkendali, pada akhirnya mengakibatkan krisis pembangunan berkelanjutan - atau lebih tepatnya ren tetan krisis berikut ini:

1. Krisis lingkungan tidak terpantau. Keadaan semakin memburuk termasuk diantaranya punahnya ke anekaragaman hayati, penurunan cadangan dan kelangkaan air, perubahan iklim, dan penggundulan hutan. Dampak dari hal-hal tersebut diatas nam paknya akan semakin merugikan.

2. Krisis pembangunan kian memburuk. Keadaan LDCs (Least Development Countries) yang sudah sangat memprihatinkan semakin terpuruk saja, sementara negara-negara yang relatif lebih berhasil dalam bidang perekonomian juga jatuh ke dalam krisis, dan sejumlah alternatif pembangunan juga semakin berkurang baik dalam cakupan maupun kemungkinannya.

3. Keterkaitan konseptual, kebijakan dan politik antara lingkungan dan pembangunan yang jelas-jelas dirancang menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan da lam proses UNCED nampaknya mulai tercerai-berai dengan begitu mudahnya, sehingga "pembangunan" sebagai suatu prinsip atau hak nampaknya semakin kabur dengan semakin mapannya negara-negara Utara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun