Eka merasa bahwa dunia terus berubah dalam sekajap mata. Itulah refleksi seorang anak tunggal yang hobi berkelana di Tiktok dan gemar mengikuti tren-tren terkini. Saat menjelang libur sekolah, Eka dan orang tuanya memutuskan untuk berkunjung ke rumah kakek dan nenek.
Hari itu bertukar tawa dan nostalgia antara para lansia dan muda-mudi. Perut kenyang dengan makanan yang disiapkan sungguh lezat oleh nenek tercinta. Satu hingga dua jam terlewat dan beberapa berdialog bersama di sofa ruang tamu. Terlihat Kakek sudah santai karena ponselnya sudah di tangannya dengan kacamata baca siap.Â
"Ka ... Eka, Kakek minta tolong," panggil Kakek dari jauh.
"Iya, sebentar. Lagi cuci—dikit lagi selesai kok!" sahut Eka dari dapur. Anak itu mengusap-usap tangannya di kaos sambil bergegas menuju kakek. Kakek menyuruh Eka untuk mendekat dan memberikan ponselnya kepada Eka.Â
"Ini kenapa Kek?"
"Itu loh ... teman Kakek kirim pesan di fesbuk yang aneh-aneh aja!" gerundel Kakek.Â
"Gak ada yang aneh ini—" terhenti Eka dipotong Kakek
"Coba deh kamu baca dulu ... ngerti ndak arti pesannya!?" Eka langsung gugup seakan dimarahi oleh Kakek.Â
Ia melihat lagi isi pesan dan tidak menemukan salah atau hal yang janggal. Seketika Nenek, Andi, dan Wati langsung menoleh ke arah mereka berdua. Sang Nenek cekikikan melihat Kakek yang tiba-tiba bentak.Â
"Heh, berdua. Kalian jangan berantem-berantem ya!" tegur Ibu. Suasana menjadi tegang dan sunyi. Eka mencoba santai dan merangkul Kakek dengan duduk di sampingnya.Â
"Kek, coba tunjukin mana yang bikin bingung," bisik Eka.Â
"Ini loh, teman Kakek ceritain tentang anaknya yang ... mager? Maksudnya 'mager' ini apa sih?" Eka menghela nafas sebentar. Lalu, Eka mengulang pertanyaan Kakek ke Nenek. Nenek menyeringai karena tahu masalah apa yang dialami Kakek. Kakek sedikit geram melihat isterinya seakan menertawakan pertanyaannya itu.
"Jadi gini, Kek. Mager itu artinya males gerak. Itu singkatan-singkatan zaman sekarang ini." Awalnya tegang dan sunyi, sekarang ribut persoalan bahasa kekinian. Kakek kukuh menanggapi bahwa bahasa-bahasa ini tidak jelas dan kurang bermutu.Â
"Kek, itu anak-anak pasti punya bahasanya sendiri. Beda zaman, ya beda budayanya." ujar Nenek.
"Nenek tahu singkatan-singkatan lain dari mana, Nek?"Â
"Ya, dari ibumu pasti! Aku juga tiktokan loh ... jangan salah."Â
Ibu menyahut lagi, "Di Tiktok memang banyak singkatan begitu, tetapi Ibu sama Ayah udah kenal singkatan-singkatan. Zaman sekarang paling udah punah tuh singkatan kali ya, Pah?" Bapak mengangguk-angguk pernyataan Ibu.Â
"Singkatan apa tuh? Spill dong!" sahut Eka.
"Kasih tau gak nih, Pah? Aduh jadi keinget lagi," tanya Ibu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ya, kasih tau aja," jawab Bapak.
"Jadi, bapakmu tuh sering kasih pesan SMS. Dulu tuh pendek-pendek teksnya ... kalau ga salah ada batas 160 atau lebih kata? Gaada tuh 'aku sayang kamu' karena paling kata 'sayang' disingkat 'C-H-Y-N-K'. Ada gak ya fotonya ... Aduh, inget-inget pesan SMS dulu jadi malu," kenang Ibu yang tergelitik akan kisah romansa dulu.
Eka sejenak berpikir sambil mengadah ke langit-langit. Wajahnya menjadi muram karena sesuatu pertanyaan lewat di kepalanya. "Loh, bukannya singkatan kata-kata gitu baru muncul di Gen Z-Gen Z ini ya?"
"Enggak, Eka. Ini keseringan tiktokan jadi begini nih," ledek Ibu.
"Masa sih? Aku gak percaya," heran Eka. Eka berjalan ke tempat tidur dan hendak mengambil ponselnya. Tangannya meraba-raba tas, tetapi tidak menemukan.
"Dek, nyari ponsel? Itu di meja makan." Eka tersenyum malu selagi bergerak ke meja makan. Ibu menatap Eka seakan pasrah akan kebiasaan anaknya yang lalai, tetapi terdapat rasa sayang yang tersirat.
Eka melakukan searching mengenai pesan-pesan SMS tahun 90-an. Tersenyum malu lagi Eka ketika foto-foto tersebut diambil sebelum zaman Tiktok dan Instagram. Walaupun begitu, ia menemukan humor dalam pesan-pesan romantis yang membuatnya merinding. Pergilah ia di depan keluarganya seakan menghadap pengadilan.Â
"Jadi, Mas Eka Widian—" komentar bernada sarkas Ibu iba-tiba terpotong.
"Iya, aku salah deh ... kan aku toh berpendapat atau asal opini doang—" Eka tidak mengerti apa yang ia katakan sehingga menggantinya, "Maksudku ..." Eka menepok kedua pahanya dan duduk di sofa dengan pasrah. Bapak mulai menepuk tangan sambil tersenyum, tetapi langsung ditegur oleh Ibu di samping.Â
Nenek yang awalnya bersantai tiba-tiba ekspresinya menjadi kaget dan hendak pergi dari ruang tamu. Ibu yang juga kaget melihat Nenek dengan herannya bertanya, "Ada apa, Nek?" Nenek tertawa sebentar sebelum menjawab, "Aku lupa siapin bolu di meja makan." Seketika melihat cucunya yang terdiam, ia menghampirinya.
"Heh, cuman masalah gitu doang ... Ayo, ikut bantu Nenek sini!"Â
Hati Eka mulai tergerak setelah mendengar ucapan neneknya. Setelah Eka duluan pergi ke dapur, Ayah dan Ibu ikut tergerak bergabung. Ayah melihat dari jauh anaknya yang sibuk-sibuknya sambil diceramahi oleh Nenek. Walaupun suara terdengar senyap-senyap, ekspresi seorang lansia dan cucunya sangat terlihat.Â
Bolu sudah siap di meja dan tiba-tiba Kakek muncul untuk bergabung. "Aku tadi denger ada kue. Langsung semangat saya!" seru Kakek. Berdoalah mereka semua dengan memegang tangan.Â
"Aku ... ke kamar mandi bentar ya!" ujar Eka sambil terburu-buru.
Eka pun ke kamar mandi dan menatap cermin di atas wastafel. Ia melihat jenggot lebat di wajahnya yang ia hendak cukur sejak lama. Ya, ternyata sudah 15 tahun Eka mengingat-ingat momen di rumah Kakek dan Nenek. Seketika air keran mengusap busa-busa di wajahnya, ia sadar betapa tertutup dunianya kala itu.Â
Selesai.Â
Bram Albany Istiyono & Andreas Pradono Rukmawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI