Mohon tunggu...
Brian Rivan Assa
Brian Rivan Assa Mohon Tunggu... Guru - Elementary School Teacher | Job 42:2

Menulis sebagai Katarsis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"30" dalam Bingkai MelodiNya - Sebuah Refleksi

4 November 2020   12:13 Diperbarui: 9 Desember 2020   12:02 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto saya di tahun 2012 yang diambil dari atas lereng gunung merbabu/dokumentasi pribadi (brian rivan assa) 

Salah satu harta yang saya miliki yang paling bersifat paradoks adalah waktu

Waktu merupakan esensi yang begitu nyata karena hidup hanya sepanjang waktu yang ada. Sedemikian abstraknya waktu itu, sampai-sampai sulit untuk memegangnya, mengerti, apalagi menjelaskannya.

Tulisan  ini adalah apresiasi atas diriku yang telah berjuang, memelihara asa sampai hari ini.

Hari ini, genaplah saya berusia 30 tahun. 30 bukan hanya sebatas angka atau durasi. 30 adalah Anugerah yang tak ternilai!

Menyikapi penghujung satu fase usia memang tidak pernah mudah. Secara khusus, usia 30 tahun biasanya menjadi titik nadir yang paling menyulitkan bagi sebagian besar orang. Terutama karena pada usia tersebut, biasanya orang-orang mulai menyadari fakta bahwa masa muda mereka tidaklah abadi; hidup akan terus berjalan dan mereka akan terus menua.

Dan katanya sih, usia 30 tahun merupakan dekade terbaik dalam hidup. Asikkkk!!!

Sesaat saya merenung, berusaha untuk menjemput masa lalu, sedikit mengintip apa yang pernah terjadi di masa lalu. Yang ada disana adalah yang manis dan yang pahit. Seolah-olah tak mungkin bisa dipisahkan, bagaikan uang kertas yang berbeda pada kedua sisinya, namun menyatu.

Apakah saya belum berdamai dengan masa lalu? Tentu tidak begitu, Ferguso! Berdamai dengan masa lalu bukan berarti memory itu hilang. Kecuali saya Amnesia. Beda ceritanya. Berdamai adalah menerima hal itu sebagai bagian (seni) dari hidup (tapi bukan penentu), dijadikan pelajaran (batu loncatan) untuk hidup yang lebih baik. Karena yang manis dan yang pahit itulah yang telah menciptakan warna indah dalam perjalanan hidup saya. Yang pahit itu telah membentuk mental, karakter serta pola pikir saya. Tentu ada maksud Tuhan dibalik semua itu.

Seperti kalimat ini: “Yang manis jangan langsung ditelan, yang pahit jangan segera dimuntahkan.”

Bagaikan duri dalam daging, hampir separuh hidup saya jalani dengan rasa sakit. Bangun, duduk, berjalan, lalu tidur kembali dengan rasa sakit. Jangan tanyakan gimana rasanya. Saya tidak punya definisi yang tepat untuk menjelaskannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun