Mohon tunggu...
Bambang Pribadi
Bambang Pribadi Mohon Tunggu... profesional -

B. Pribadi (Bambang Pribadi) sering dipanggil BP saja, pernah belajar ilmu kehutanan dan ekonomi, selain sebagai penulis dan editor, ia juga pelukis, perancang grafis, karikaturis, ilustrator, pernah menjadi dalang wayang kulit gagrak Ngayogyakarta…. www.bambangpribadi.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sketsa #33 Profesor Kalong

5 September 2010   14:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:26 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Kami sering memanggilnya dengan sebutan Profesor Kalong. Gelar mahaguru yang kami berikan padanya sama sekali tak akademis. Sebab orang bertubuh kekar ini hanya lulusan SMP dan sekarang sedang tergopoh-gopoh penuh perjuangan mengejar program Paket C. Melihat penampilannya yang setiap hari datang ke sekolah selalu bermobil, kami sempat terheran-heran mengapa ia masih begitu keras kepala menginginkan sepotong ijazah setara SMU. Apa pula yang hendak dicarinya?

“Doakan saya, fren! Biar bisa kuliah,” pintanya begitu setiap kali ia berpapasan dengan kami. Di saat lain ia minta doa begini, “Doakan saya fren! Biar bisa S1 lalu S2 lalu S3.” Sesaat kemudian setelah kami ikut mengamininya dengan sedikit kelakar, ia tertawa terbahak-bahak. Secara jujur hendak kukatakan bahwa aku sungguh-sungguh mengamininya.

Keinginannya yang luar biasa kuat untuk ikut menggerogoti bangku kuliah sampai lumat, membuat kami menggelarinya dengan sebutan profesor. Semangatnya menggebu-gebu jika bicara soal meraih pendidikan setinggi-tingginya. Walaupun kami sering mencandainya, tetapi sungguh kami sangat mengaguminya. Diam-diam banyak dari kami telah termotivasi juga untuk meraih pendidikan sampai ujung tertinggi.

Usianya tak lagi muda, 38 tahun. Nama aslinya Pokidjan, warga dusun sekitar sekolah kami berada, sudah beristri dan beranak tiga. Ia adalah karyawan sekolah kami pemegang jabatan bergengsi sebagai kepala satpam. Tugasnya menjaga keutuhan teritorial sekolah di waktu malam. Karenanya, kami menambahkan “kalong” di belakang gelar profesornya itu. Ditemani oleh lima anak buahnya, secara bergantian mereka rajin mengelilingi sudut-sudut sekolah.

Rupa-rupanya, benarlah kata pepatah, jika Tuhan sedang menutup pintu, Ia pasti sudah membukakan jendela. Bagiku sore itu, jendela mungil yang sudah dibuka Tuhan bagiku tak lain ya Profesor Kalong. Selepas magrib aku menjumpainya. Ruang tamunya yang luas hanya kulewati saja, sebab aku segera dimintanya masuk ke ruang kerjanya. Segera aku mengikutinya masuk. Tetapi tak seperti kulintasi ruang tamunya dengan lancar, di ambang pintunya aku terjebak macet. Pemandangan di ruang kerjanya itu membuatku terkesima. Tak sadar aku berdiri bisu seperti patung dan tuli mendadak tak mendengar jika ia telah memintaku untuk duduk. Tak kusangka, ia memiliki ruang kerja yang sangat mengagumkan. Segeralah aku sadar bahwa aku telah salah tebak soal ukuran jendela yang telah dibuka Tuhan. Profesor Kalong bukan jendela mungil. Ia jendela yang amat lebar. Hatiku girang bukan buatan.

Ruangan yang disebutnya ruang kerja itu berukuran sekitar tiga meter persegi. Rak-rak buku berpintu kaca menjulang menutupi tiga sisi dindingnya, nyaris menyentuh plafon. Dua rak buku kembar pada sisi dinding yang berhadapan. Di sebelah kiri pintu, dindingnya pun tertutup rak buku pula. Dinding satunya-satunya tentu tidak, sebab di situ ada jendela lebar nyaris selebar sisi dinding itu sendiri. Barulah di bawah jendela itu terbujurlah semacam lemari pendek kekar yang panjang berpolitur merah mahoni. Di atas lemari itu, duduklah dengan nyaman sebuah mesin facsimile berdekatan dengan sebuah printer yang diinfus dengan empat botol tinta. Di atas mejanya sendiri berdiri tegak sebuah monitor komputer 21 inci di samping sebuah mesin scanner. Kapan waktunya ia menyalakan komputernya, aku pun tak tahu. Setelah selesai mempersiapkan apa yang harus ditunjukannya padaku, Profesor Kalong memanggilku dengan suara yang sangat keras. Aku tersadar dari lamunan lalu duduk di depan mejanya.

Walaupun aku sudah duduk di hadapannya, kepalaku masih tak memandangnya. Kedua mataku memang tidak sopan sekali. Orang yang sedang kagum kadang-kadang memang melupakan sejenak perkara toleransi. Aku masih menengok-nengok buku-buku dalam rak-rak berpintu kaca itu. Tak henti-hentinya aku mengamati karya-karyanya, semuanya buku anak-anak.

Aku pun tak tahu kapan pula ia telah memutar monitor yang tampilannya akan ia tunjukkan padaku.

“Nah, begini.... Ehem ehem...!”

“Ya, ya.... Gimana, Prof?” Aku terkejut sebab ia berdehem seperti Merapi meletus lalu kuberkata saja sekenanya.

“Ini software yang harus segera dirimu kuasai!”

“Apa itu?” tanyaku.

“Coreldraw!” katanya dan mataku setuju.

Kemudian ia menyerahkan padaku beberapa lembar kertas kosong sambil berkata, “Gambarlah duabelas macam binatang, setelah itu datanglah ke sini lagi. Oke?”

“Oke, Prof. Tetapi berapa lama bisa jadi sebuah buku?”

“Jika dirimu bersungguh-sungguh, dua minggu setelah kau selesaikan gambar dua belas binatangmu itu...”

“Dua minggu? Serius, Prof?”

“Ya iyalah masak ya iya dong!”

Kemudian Profesor Kalong mengusirku pulang. Kunaiki sepedaku dengan otak yang masih hang. Jendela yang telah dibuka Tuhan bagiku memang berukuran sangat lebar. Masalahnya bukan seberapa lebar jendela itu, melainkan apakah aku berani melompat melalui jendela itu. Kukayuh sepedaku dengan hati yang tak karuan. Ada senang, ada kagum, tetapi juga terselip di sana-sini semacam keragu-raguan di sudut-sudut hatiku.***

---------------------------------

05-09-2010 bp

*Sketsa ini ditulis masih dalam rangka menggenapi sketsa-sketsa sebelumnya sebagai bahan baku novel SMB Pantang Menyerah atau Firdaus Kecil.

Sketsa sebelumnya: Sketsa #32 Akuarium Ikan Badut

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun