"All animals are equal but some are more equal than others." (Animal Farm/George Orwell)
"Semua hewan itu setara, tetapi beberapa hewan ternyata lebih setara daripada yang lain." Kalimat pamungkas dari George Orwell dalam Animal Farm tak pernah kehilangan relevansinya.
Bukan hanya sindiran klasik tentang korupsi kekuasaan, melainkan gema ironis yang terdengar di ruang-ruang pesta pejabat negeri ini, di mana gerakan pinggul lebih fasih dilakukan daripada menyusun kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Kini, pejabat kita benar-benar menjadikan panggung pemerintahan sebagai lantai dansa publik, dan rakyat dipaksa menjadi penonton setia, meski perut mereka keroncongan.
Baru-baru ini, jagat maya kembali dibuat tergelincir antara tawa getir dan amarah ketika sebuah video memperlihatkan Bupati Bangka Selatan berjoget mengikuti irama sound horeg di acara peringatan 17 Agustus.
Gerakan energik itu tidak hanya membuat panggung bergetar, tetapi juga menyeret para anggota Paskibraka, seolah dunia pemerintahan hanyalah pesta panjang yang tak mengenal jeda.
Di tengah harga bahan pokok yang kian melambung dan wacana tunjangan fantastis bagi para anggota DPR, pemandangan ini terasa seperti lelucon yang terlalu mahal.
Fenomena sound horeg sendiri sudah lama menuai kontroversi. Bukan semata karena dentuman musiknya yang memekakkan telinga, tetapi juga karena asosiasinya dengan perilaku ugal-ugalan di ruang publik.
Pesantren Besuk, Pasuruan, bahkan sampai mengeluarkan fatwa haram terhadap fenomena ini. Fatwa tersebut tidak hanya menyoroti aspek kebisingan, tetapi juga mempertanyakan nilai moral yang dikandungnya, menyebutnya sebagai "syiar orang fasik" yang tak patut dipelihara.
Ironisnya, di saat sebagian ulama mengharamkan, Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur justru memberikan pengakuan Hak Kekayaan Intelektual untuk sound horeg. Sebuah kebijakan yang seolah ingin mengatakan bahwa selera bising pun layak diberi penghargaan formal.
Pakar sosiologi dari Universitas Brawijaya, Didid Haryadi, turut mengomentari fenomena ini. Ia menilai bahwa sound horeg sama sekali bukan bagian dari budaya luhur, melainkan muncul dari minimnya ruang publik yang ramah bagi warga.