Mohon tunggu...
Boy Nugroho
Boy Nugroho Mohon Tunggu... A story teller

All this talk about equality. The only thing people really have in common is that they are all going to die.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Hey Anak Muda! Teguran di Tempat Kerja itu Bukanlah Kutukan

10 Juli 2025   20:31 Diperbarui: 10 Juli 2025   20:31 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kedunguan generasi muda di tempat kerja (Pexels/Fatih Gney )

Di dunia kerja, saya kerap bersua dengan beragam karakter. Ada yang rajin, dan ada pula tertatih-tatih beradaptasi dengan sistem.

Bahkan, ada pula yang mentalnya ringkih hanya karena sebuah teguran di grup WhatsApp. Konyolnya lagi, teguran itu sifatnya umum, bukan ke yang bersangkutan.

Kapan hari, saya menegur hasil kerja tim yang amburadul lewat pesan di grup. Teguran itu jelas untuk semua, supaya jadi pengingat.

Nah keesokan harinya, saya dengar kabar dari teman yang jadi tempat curhat si anak.

Intinya, anak itu semacam curhat ke rekan saya, atau mungkin lebih tepatnya bersikap manipulatif. Pertama, ia mengucapkan terima kasih karena hanya rekan saya itulah yang memberikan perhatian sejak awal.

Kemudian, ia lalu mengaku akhir-akhir ini sengaja tidak aktif karena ada banyak prioritas lain. Buset. Ini urusan kerjaan lho.

Katanya juga, ia merasa tidak nyaman karena ada beberapa kalimat dari editor yang bikin dia sakit hati (ya, siapa lagi kalau bukan saya).

Ia pun mengaku paham bahwa ini urusan kerja, tetapi ketika ia diam, justru merasa seperti disindir di grup sehingga makin berat perasaannya.

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa bekerja sama kalau semua masukan dianggap serangan?

Belakangan ini saya sering melihat pola serupa. Ditegur sedikit baper, dikoreksi malah ngeyel. Bahkan ketika saya bilang, "jangan ngeyel," dia tersinggung dan bilang, "itu kata kasar, Mas."

Padahal kalau sudah diberi arahan berkali-kali tapi masih ngotot dengan cara sendiri, ya itu namanya ngeyel.

Mau pakai diksi apapun, artinya tetap sama, sat.

Saya menduga banyak dari mereka tumbuh di lingkungan yang terlalu manis.

Sirkel-sirkel yang penuh sanjungan semu, entah di organisasi, komunitas, atau media sosial, yang membuat mereka percaya bahwa mereka selalu benar dan selalu istimewa.

Begitu masuk dunia kerja, yang notabene tidak segan memberi kritik, mereka kaget. Lantas, dunia serasa jahat kepada mereka hanya karena teguran kecil.

Padahal dalam urusan kerjaan, yang dilihat orang bukan perasaanmu, tapi hasil kerjamu.

Kalau salah, ya diperbaiki. Kalau belum bisa, ya belajar. Sederhana sebenarnya.

Indonesia Emas atau Indonesia Cemas?

Di balik jargon Indonesia Emas 2045, saya justru kadang melihat bibit-bibit Indonesia Cemas.

Bagaimana mungkin jadi generasi emas kalau mentalnya mudah runtuh hanya karena sebuah koreksi?

Syukurlah tidak semua begitu. Ada juga anak-anak muda yang belajar dari nol dengan penuh kesadaran.

Mau bertanya, tidak gengsi belajar dari yang lebih senior, dan punya tekad kuat. Anak-anak semacam ini yang memberi harapan bahwa tidak semua hilang.

Teguran itu bukan kutukan. Justru itu tanda bahwa kita masih dianggap bagian dari tim, masih ada yang peduli dengan perkembangan kita.

Kalau semuanya dibiarkan, itu justru berarti sudah tidak peduli lagi.

Kadang saya kasihan juga pada mereka yang baper itu. Mungkin tidak pernah diajari cara menghadapi dunia yang sesungguhnya. Tapi dunia kerja tak punya banyak waktu untuk menunggu mereka tumbuh pelan-pelan.

Kalau terus merasa jadi korban dan enggan belajar, ya ujung-ujungnya tersisih sendiri.

Zaman terus berubah, teknologi makin, canggih, makin banyak cara dan kesempatan untuk belajar. Mosok ya mau diingetin terus-terusan.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun