Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2025 menimbulkan beragam tafsir. Secara garis besar, Presiden menekankan pentingnya solusi dua negara, membuka opsi pengakuan terhadap Israel bila Palestina juga diakui, serta menawarkan kontribusi pasukan perdamaian Indonesia untuk menjaga stabilitas pasca-konflik. Dari sudut pandang diplomasi, langkah tersebut bisa dipahami sebagai strategi "defensif" untuk menempatkan Indonesia sebagai aktor yang moderat, pragmatis, dan tidak konfrontatif. Namun, apabila dianalisis dari perspektif hukum internasional dan amanat konstitusional Indonesia, sikap tersebut menyimpan problem serius.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyatakan: "Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan." Kalimat ini bukan sekadar idealisme, melainkan arah fundamental politik luar negeri Indonesia. Konstitusi secara jelas menggariskan keberpihakan Indonesia pada perjuangan bangsa-bangsa yang masih berada dalam belenggu penjajahan.
Dalam konteks ini, konflik Israel--Palestina adalah bentuk penjajahan kontemporer. Sejak 1948, rakyat Palestina mengalami pengusiran massal, perampasan tanah, dan kehilangan kedaulatan. Setelah Perang Enam Hari 1967, Israel menduduki Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza, serta membangun pemukiman ilegal yang hingga kini bertentangan dengan hukum internasional. Fakta-fakta ini tidak dapat dipisahkan dari pernyataan konstitusional Indonesia yang melarang segala bentuk penjajahan. Dengan demikian, posisi resmi negara seharusnya lebih dari sekadar menawarkan jalan tengah; seharusnya menyuarakan penolakan tegas terhadap praktik kolonialisme modern.
Dari sudut pandang hukum internasional, apa yang terjadi di Gaza pasca 7 Oktober 2023 mengindikasikan terjadinya kejahatan internasional serius. Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengkualifikasikan genocide, crimes against humanity, dan war crimes sebagai kejahatan paling serius yang mengancam perdamaian dunia.
Serangan Israel yang menargetkan permukiman sipil, penggunaan blokade terhadap bantuan kemanusiaan, penghancuran fasilitas vital seperti rumah sakit, hingga jatuhnya puluhan ribu korban jiwa sipil, memenuhi elemen kejahatan tersebut. Tidak hanya Israel, negara-negara yang secara aktif memberikan bantuan senjata dan dukungan politik, terutama Amerika Serikat, dapat dipandang terlibat secara tidak langsung melalui doktrin aiding and abetting dalam hukum pidana internasional.
Dengan landasan ini, Indonesia sebenarnya memiliki legitimasi kuat untuk menuntut agar Israel dan pihak pendukungnya diproses di ICC. Bahkan, langkah diplomatik semacam itu justru mempertegas konsistensi Indonesia dalam memperjuangkan rule of law internasional.
Pidato Prabowo di PBB terlihat mengedepankan kalkulasi realistis. Sikap ini dapat dipahami dalam kerangka teori hubungan internasional yang menekankan kepentingan nasional (national interest) di atas segalanya. Dengan membuka opsi pengakuan Israel, Indonesia berusaha menjaga relasi baik dengan negara Barat dan menempatkan diri sebagai aktor "moderator" dalam konflik. Tawaran pasukan perdamaian juga memperlihatkan orientasi pertahanan nasional sebagai kontribusi praktis, bukan sekadar retorika.
Namun, strategi semacam ini pada akhirnya hanya menguntungkan posisi Indonesia di percaturan global, tanpa menunjukkan keberanian moral. Indonesia seolah berhenti pada level "diplomasi defensif" menghindari konfrontasi keras dengan kekuatan besar, tetapi juga tidak tampil tegas dalam menegakkan amanat konstitusi. Padahal, politik luar negeri Indonesia seharusnya tidak hanya bertumpu pada realisme, melainkan juga idealisme yang sudah menjadi identitas sejak era Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok.
Di sinilah letak kontradiksi utama. Di satu sisi, konstitusi mengikat Indonesia untuk melawan segala bentuk penjajahan. Di sisi lain, praktik diplomasi Indonesia di bawah Prabowo tampak lebih diarahkan untuk menjaga "safe zone" bagi kepentingan nasional jangka pendek. Sikap kompromistis ini mungkin memberi keuntungan dalam hal hubungan bilateral atau reputasi di forum internasional, tetapi berpotensi menggerus kredibilitas moral Indonesia sebagai negara yang sejak awal berdiri di garis depan anti kolonialisme.
Seharusnya, Indonesia menggunakan forum PBB bukan hanya untuk menyampaikan dukungan terhadap solusi dua negara, melainkan juga untuk:
Menyuarakan pengutukan tegas terhadap praktik genosida dan kejahatan perang di Palestina.
Mendorong ICC untuk mempercepat proses investigasi terhadap Israel dan pihak-pihak yang terlibat.
Menggalang koalisi negara-negara Selatan untuk menekan negara-negara besar agar menghentikan dukungan terhadap penjajahan.
Menegaskan kembali amanat UUD 1945 sebagai dasar politik luar negeri Indonesia, sehingga sikap bangsa ini tidak semata berdiri pada realisme pragmatis, tetapi juga pada landasan moral dan konstitusional.
Pidato Prabowo di PBB memang memberi kesan diplomasi yang hati-hati dan berorientasi pada pertahanan nasional. Namun, dari sudut pandang hukum internasional dan konstitusi Indonesia, sikap tersebut masih jauh dari ideal. Indonesia tidak boleh terjebak dalam diplomasi defensif yang mengutamakan kalkulasi politik, tetapi harus konsisten mengutuk penjajahan dan mendorong akuntabilitas hukum internasional.
Sejarah menunjukkan bahwa suara moral bangsa ini pernah menggema dari Bandung hingga New York. Kini, ketika dunia kembali menyaksikan tragedi kemanusiaan di Palestina, Indonesia diuji: apakah tetap teguh pada amanat Pembukaan UUD 1945, ataukah memilih kenyamanan pragmatis yang justru mengaburkan identitasnya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI